Dari Muba Untuk Muba

Blog ini bisa menjadi jendela bagi Kita, Jendela seputar kiprah, kegiatan, ide pikiran , gagasan saya dalam menjalankan tugas sebagai pemimpin daerah Kabupaten Muba. Saya Ingin Masyarakat lebih tahu sejauh mana saya menjalankan amanah ini, dalam penyajiannya Blog ini harus menyajikan info WAJAH YANG TANPA TOPENG. Semoga dapat memberi manfaat. - Salam !

Jumat, 20 November 2009

Sampai saat ini, begini inilah kami, Bung!

kami hanya menghabiskan waktu untuk cita-cita pendek dalam rentang usia yang terus memanjang. Kami yang hidup sekarang, tidak mau mempersulit diri untuk hal-hal yang berada di luar kepentingan pribadi.

Yang kami butuhkan hanyalah kehidupan yang normal; rumah, mobil, tabungan lebih dari cukup, anak-anak yang bersekolah internasional dimana pelajaran sejarah dihapuskan, istri dan kalau bisa dua atau tiga orang simpenan mahasiswi. Itulah kehidupan yang sebenarnya Bung, bukan jenis impian muluk-muluk yang kau miliki. Dan coba bayangkan; mana mungkin kami mau membujang sebagaimana kau dan teman temanmu hingga usia kepala 4, hanya demi cita-cita Indonesia merdeka? Hahaha Bung, di zaman sekarang ini, kami akan mencurigaimu menyukai sesama jenis.

Kenapa pula kau mau menginap di hotel Prodeo hanya untuk sebuah impian Indonesia. Ah pleidoi atau segala macam yang sejenis dizamanmu mu di masa sekarang tidak akan mengubah apa-apa. Sebab, yang kau tidak akan pernah mengerti di zaman kami ini, hukum sudah pasti bisa diperjualbelikan.

Bagi kami Belanda adalah surga, bukan neraka dimana api penyucian bisa mengantarkanmu ke nirwana. Kami tidak akan menentang kesenangan yang tersedia, kami akan menikmati sehabis-habisnya. Canabis, ecstasy, mushroom; semuanya tersedia untuk saudara tua.

Jadi tidak salah kan Bung, bila sekarang kami bertanya-tanya; kenapa dulu semua kesenangan ini kau lewatkan hanya demi sebuah absurditas Indonesia Merdeka?

Dengar Bung, bagi kami Boven Digoel dan Papua itu bukan lagi tempat pembuangan tetapi sumber pemasukan. Belanda telah lama pergi, gubernur jenderal tidak ada lagi; kami lah pemegang tunggal hak-hak istimewa Exorbinte Rechten. Itu sebabnya kami bebas tanpa kendali di Papua. Kami tidak perlu mengulurkan persaudaraan dengan manusia Papua, sebab kami hanya butuh alam nya. Jakarta saat ini Bung, hanya butuh tembaga, gas, emas dan hutan; coba lihatlah, manusia Papua tidak masuk dalam komoditas yang kami butuhkan. Kalau ada yang keberatan tinggal kirim polisi dan tentara; seenak hati kami bicara, “hei, ko OPM ya! Kitorang kasih mati baru ko tau rasa!” Bung, pada zaman kami ini, yang menang adalah yang praktis bukan yang idealis.

Kau akan menjadi orang gila yang asketik di zaman kami ini, Bung. Dan itu jelas akan membuat kesal semua orang. Kenapa sih, kau tabah betul berlama-lama .

Itulah mimpimu yang tidak masuk akal; di zaman ini yang perlu kau sadari Bung, bahwa bekal ilmu itu tidak berarti banyak bila kau tidak punya uang yang cukup untuk anakmu. Ya, semua anak perlu sekolah tetapi hanya sedikit anak yang mendapatkan pendidikan yang baik. Sisanya, ya Bung, kita masih perlu lebih banyak kuli dari mereka yang tidak terdidik. Kita perlu cukup massa demonstran bayaran dari orang-orang bodoh.

Itu sebabnya, pendidikan itu harus eksklusif, tidak terjangkau, setiap kursi ada harganya sebab bila tidak demikian; bagaimana mungkin segelintir manusia bisa tetap memperbudak lebih banyak manusia di bumi Indonesia tercinta ini?

Jadi, bila kau hidup di zaman kami ini Bung, solidaritasmu hanya akan berakhir di kolong jembatan. Kami yang wangi ini, tidak akan sudi menjengukmu.

Kenapa pula , Soekarno pada bulan puasa itu membikin gara-gara. Ah, proklamasi, omong kosong itu bikin revolusi. Dan revolusi itu bikin pembangunan koloni terhenti lima tahun lamanya.

Mari Bung, kami ajarkan cara kami; tidak usah ada proklamasi seharusnya sehingga revolusi tidak perlu terjadi.

Biarkan tangan terampil Belanda merawat bangsa ini, memang mereka mendapatkan semua kekayaan alam kita tetapi masa sih kita tidak dapat sisanya? Dan itu jumlahnya bukan tidak sedikit kan Bung?

Demikianlah cara pintar kami mengelola nusantara ini Bung. Yang mulia bukanlah proklamasi tetapi investasi. Dengan cara seperti itu kami tidak perlu keluar keringat, biarkan bangsa asing yang menggali, biarkan mereka membawa hasilnya ke negeri mereka dan kami, tentu saja masih bisa menikmati sisa-sisanya. Tetapi gerombolanmu menolak kompromi, betapa angkuhnya. Kau tidak akan bisa hidup di zaman kami Bung. Kami tidak perlu mengenang proklamasi, dan yah, kami sudah mulai melupakannya. Upacara bendera sudah tidak wajib lagi di sekolah-sekolah yang telah mengganti kata “merdeka” dengan “Yes Sir”. Anak-anak kami tidak perlu lagi hormat pada Sang Saka Merah Putih, biarkan mereka memuja Sang Sakaw Meraih Putaw.

Bung, Bagi kami hidupmu adalah rentetan mimpi buruk yang sekuat tenaga akan kami hindari. Bagimu prinsip adalah harga mati sedangkan bagi kami, prinsip itu tergantung pada kompromi. Hanya karena prinsip yang kami tidak peduli, Si Hatta mundur sebagai wakil presiden. Bah, mengundurkan diri demi prinsip? Itu sama sekali tidak ada dalam kamus manusia Indonesia modern.

Sekarang eranya kompetisi, plutokrasi yang indah bagi kami yang berduit. Kau tidak harus mundur karena prinsip, sebab pada prinsipnya, ya, tidak ada prinsip.

Kami tidak akan pernah mau mengorbankan kehidupan nyaman kami yang dibiayai oleh rakyat berakhir begitu saja karena makhluk aneh bernama prinsip. Tidak, kami dan tentu saja, anak, istri dan simpanan-simpanan kami tidak siap untuk hidup melarat.

Di zaman ini, mereka yang melarat tidak akan terpandang. Dan itulah anehnya zamanmu itu Bung, orang-orang melarat kok banyak mendapat posisi terhormat di mata rakyat?

Sekali lagi Kami hanya mampu mengenang, pertanda kami masih jadi pecundang. Kami tidak memberi tempat hidup bagi nilai-nilai Soekarno, hatta, syahrir, tan malaka dll dalam keseharian kami. Kami menginginkan surga tetapi enggan melewati api penyucian bernama pengorbanan. Kami menghirup nafas kemerdekaan tetapi jiwa kami terpenjara. Kami enggan menengok sejarah sebab itu hanya akan menghambat rutinitas kami. Kami satu bangsa, tetapi sudah berbeda lingua franca; yang berkuasa menumpahkan darah demi seceret air.

Sampai saat ini, begini inilah kami, Bung!



-......................Tulisan ini aslinya diposting di :
E.S. Ito
Discover Nation Through History
http://esito.web.id/2009

Sedikit editing dan penyesuaian disana sini oleh kuyung Ben ...maksudnya supaya jadi lebih asyik di baca...

Thanks to the article bung Ito .....gak apa ya ..saya numpang nikmati untuk merasa depresi lho..!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar