Republik pada dasarnya berarti urusan masyarakat luas. Makna semantik ini menjadi penanda amat jelas, republik berbeda dari monarki.
Dalam monarki tidak dikenal istilah urusan publik. Semua merupakan urusan raja, bahkan warganya dianggap ”milik” raja. Republik juga berbeda dengan korporasi. Dalam korporasi, hanya pemilik atau pemegang saham yang memiliki suara.
Namun, dalam republik, semua orang menjadi pemilik. Karena itu, semua hal bisa berubah menjadi urusan bersama. Dalam rumusan kalimat negatif, republik tidak hanya berarti urusan penguasa dan negara, juga tidak hanya menjadi urusan pengusaha. Karena itu, republik dipahami sebagai kebersamaan dalam pemilikan.
Tanpa makna publik
Negara Indonesia juga dibentuk dengan semangat republik. Itu sebabnya kita memberi nama Republik Indonesia. Implikasinya, sejak 17 Agustus 1945, Indonesia dilahirkan dengan asumsi politik bahwa ia tidak lagi dimiliki pihak kolonialis asing. Sejak itu, setiap warga merupakan pemilik sah dari yang disebut dengan Indonesia.
Karena itu, negeri yang memiliki semangat politik republik tidak boleh terlihat asing bagi warganya. Akan amat aneh terlihat jika warga dari suatu republik amat jauh dari publiknya. Demikian juga, karena semangat pemilikan bersama itu, republik harus dibela saat sedang dalam bahaya, misalnya karena diserang pihak asing. Jika ini terjadi, setiap warga diharapkan dapat menjadi patriot-patriot republik.
Namun, harapan agar setiap warga dapat menjadi patriot republik itu tidak akan muncul jika ”republik” hanya hadir dalam pengertian tanda kutip. Maksudnya, nama dan bentuknya ada, tetapi semangat atau ruhnya hilang. Dalam sinisme politik, ia dapat muncul dalam dua ungkapan. Misalnya, ”Indonesia adalah republik, tetapi wataknya kerajaan”. Ungkapan lain, ”Indonesia adalah republik, tetapi wataknya korporasi”. Dua ungkapan ini menyampaikan pesan, kata publik dalam republik telah berhenti menjadi sebuah makna. Republik mungkin dirasakan telah dikelola seperti kerajaan atau dikelola seperti korporasi.
Wacana
Republik yang dikelola dengan dua watak aneh ini ada dalam posisi amat berseberangan dengan gagasan opini publik. Republik dengan watak seperti ini cenderung melihat opini publik sebagai sesuatu yang tidak bermanfaat, bahkan memunculkan bahaya.
Republik dengan watak seperti ini selalu berupaya membatasi kebebasan media dalam menyampaikan informasi kepada publik. Berbagai instrumen digunakan untuk membatasi. Mulai dari yang amat nyata seperti undang-undang penyensoran, pelarangan untuk memublikasikan aneka gagasan dari buku-buku tertentu, sengaja memobilisasi massa untuk melakukan demonstrasi mendukung sikap pemerintah yang dikenal dengan istilah penyensoran tersembunyi, hingga instrumen yang amat halus seperti intimidasi diam-diam hingga melarang media untuk memublikasikan proses hukum yang sedang berlangsung, yang dalam istilah teknis-hukum dikenal konsep prior restraint.
Pertanyaannya, mungkinkah suatu republik hadir tanpa opini publik? Tentu saja bisa, tetapi hanya dalam kerangka waktu terbatas. Rezim Orde Baru adalah republik yang tidak menyukai opini publik. Rezim itu diruntuhkan dan kini menjadi bagian sejarah. Penyensoran oleh Orde Baru untuk membatasi opini publik hanya menghasilkan kisah-kisah sebaliknya. Kemajuan teknologi komunikasi saat ini amat tidak mungkin melakukan penyensoran opini publik. Tujuan seperti itu hanya mungkin dilakukan jika secara fisik semua warga tidak lagi memiliki indra penglihatan dan pendengarannya. Republik Indonesia bukan didirikan untuk tujuan membuat warganya kehilangan indra pendengar dan penglihatan, tetapi untuk mencerdaskannya.
Jadi, tidak ada gunanya membatasi opini publik kecuali kita bermaksud meruntuhkan republik ini. Opini publik juga tidak perlu terlalu dicemaskan. Opini publik biasanya tidak stabil, dinamis, dan bisa direkayasa, seperti diperlihatkan berbagai lembaga survei menjelang pemilu lalu. Opini publik bukan suatu kebenaran permanen.
Namun, tanpa ada kebebasan untuk menyampaikan pendapat, kita tak akan pernah melakukan wacana. Bagi warga negara yang jauh dari kekuasaan dan pusat pembuat kebijakan, wacana yang dilontarkan media dan menjadi bagian opini publik merupakan bagian identitasnya. Dan saat wacana ini diambil alih dan dibatasi pihak lain, pertanyaannya kemudian adalah identitas, harapan, dan kehormatan apa lagi yang masih dimiliki?
(Tulisan Makmur Keliat di Harian Kompas)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar