Di antara banyak keajaiban Lebaran, salah satu keajaiban yang membuat saya tidak habis pikir adalah ”tradisi” di rumah para pejabat, yang biasanya disebut dengan suatu gaya, yakni open house. Maksudnya bahwa pada hari Lebaran pertama atau kedua, rumah seseorang terbuka menerima siapa saja, terutama justru bukan bagi sanak keluarga karena untuk keluarga tentu sudah ada waktunya sendiri.
Jadi, untuk menerima siapa? Segera terlihat siapa saja yang datang, antara lain lagi-lagi (ya, lagi-lagi!) bawahan di kantor dan rekanan bisnis, orang-orang dari pekerjaan sehari-hari juga.
”Dia lagi! Dia lagi!” kata pembokat, yang cukup cerdas untuk tidak pulang kampung menyakitkan badan.
Bukannya pada hari terakhir puasa masing-masing masih bertemu di kantor?
Jika hari Lebaran adalah hari besar yang bukan sekadar hari libur, mengapa belum lagi 24 jam pintu kantor tertutup, seseorang sudah harus menjadi bawahan lagi atas nama silaturahim di rumah atasannya?
Tidakkah Lebaran itu tempat setiap orang memiliki kesempatan, bukan sekadar untuk kembali menjadi bagian keluarga, tetapi terutama menjadi diri sendiri tanpa atribut dari dunia pekerjaan sama sekali?
Silaturahim itu barangkali urgen, tetapi untuk kerabat—yang kalau tidak ada Lebaran mungkin sampai mati memang tidak pernah akan ketemu. Bukan untuk orang-orang yang setiap harinya ketemu melulu! Tidak dapat saya bayangkan, betapa seseorang merelakan dirinya jadi bawahan terus-menerus, termasuk pada hari libur, ketika seharusnya ia menjadi raja atas dirinya sendiri, apalagi pada hari Lebaran!
Di rumah para pejabat yang melangsungkan ”tradisi” open house sering terjadi yang berlangsung hanyalah kantor pindah ke rumah. Ibarat rumah menteri, dari dirjen sampai office boy mengalir datang dan pergi. Padahal, setelah hari Lebaran, di kantor mereka itu masih akan ada halalbihalal!
Di luar orang kantor, tampak juga orang-orang swasta, yang silaturahimnya adalah unjuk rasa terima kasih atas fasilitas yang sedang mereka dapatkan agar terus berlanjut tentunya kalau bisa sampai hari kiamat!
Hidup cuma sekali, yang sekali itu menjadi bawahan karena piramida sosial memang tidak terbalik. Tidak mungkinlah semuanya menjadi atasan dan lebih mustahil lagi jika atasan yang bersilaturahim ke rumah bawahan. Kerelaan dan keikhlasan menjadi bawahan, demi kepentingan produktivitas kerja semut hitam, biasanya dipujikan, jadi tidak perlu saya puji-puji lagi.
Memang bukan kerelaan dan keikhlasan yang saya saksikan, melainkan kepentingan untuk mempertahankan keselamatan agar tidak dipecat dan jabatan tidak dicopot, agar tetap menjadi ”bawahan favorit” dan tetap mendapat proyek, yang membuat ”tradisi” open house di rumah para pejabat itu menjadi tampak mengenaskan....
Selamat Lebaran! :-)
-----------------------------------------oleh SENO GUMIRA AJIDARMA,Wartawan
Di kutip dari kompas cetak / 24 Sept 09
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar