Dari Muba Untuk Muba

Blog ini bisa menjadi jendela bagi Kita, Jendela seputar kiprah, kegiatan, ide pikiran , gagasan saya dalam menjalankan tugas sebagai pemimpin daerah Kabupaten Muba. Saya Ingin Masyarakat lebih tahu sejauh mana saya menjalankan amanah ini, dalam penyajiannya Blog ini harus menyajikan info WAJAH YANG TANPA TOPENG. Semoga dapat memberi manfaat. - Salam !

Rabu, 06 April 2011

Penagih Utang

Utang itu manis di awal, pahit di ujung. Nikmat membawa sengsara. Kata orang Melayu: bagai udang, tahi di kepala.

Orang yang gemar berutang ibarat berkepala udang karena kepala udang berisi kotorannya. Murid bodoh di sekolah sering disebut ”otak udang”. Orang yang gemar utang juga berotak udang. Keruh dan gelap pemikirannya sebab kebutuhannya tak jodoh dengan kemilikannya. Masih masuk akal kalau kebutuhan sangat mendesak dalam hitungan hari, bahkan hitungan jam, sehingga jalan pintas adalah berutang. Namun, amatlah bodoh berotak udang apabila tak ada kebutuhan mendesak, tetapi berani berutang.

Di Indonesia sekarang saban hari ada badan-badan yang menelepon menawarkan jasa pinjaman semudah-mudahnya. Stra- tegi ini menggoda orang yang kurang panjang pikir: tak berkebutuhan dibujuk supaya berkeinginan. Keinginan manusia itu seperti rumput liar.

Di zaman kita yang hedonistik, materialistik, dan individualistik ini, di tengah jurang kaya-miskin yang fantastis, orang-orang yang tak berkebutuhan terpacu mengumbar keinginannya meniru mereka yang pamer kekayaan. Peluang budaya ini disambar mereka yang menjalankan bisnis uang.

Di kampung-kampung sudah lama berkeliaran rentenir yang dahulu disebut lintah darat. Kisah sedih penanggung utang yang tak mampu bayar utangnya setiap hari kita dengar. Para penagih utang—yang oleh Anton Chekov disebut ”Si Beruang” dalam drama satu babaknya—dengan kasar merampas apa saja yang cukup berharga menjadi pembayaran utang. Apabila yang berutang tak punya apa-apa lagi yang cukup berharga, teror setiap saat mengguncang keluarga. Utang jadi semacam neraka.

Dalam tingkat lebih ”priayi”, para rentenir ini membentuk semacam jasa bank pinjaman. Namun, esensinya sama saja. Anda tinggal ganti ongkos kartu kredit yang tak seberapa, tetapi sangat mudah menarik uang pinjaman. Begitu mudah sehingga Anda memanjakan keinginan yang bukan-bukan, cuma demi gengsi dan harga diri dalam pergaulan. Bahwa Anda masuk golongan berharta. Semakin banyak dan tebal dompet Anda dengan kartu kredit, semakin naiklah status Anda sebagai orang berpunya.

Pada era reformasi, yang segalanya boleh atas nama kebebasan yang sakral, negara membiarkan jenis jasa rentenir sampai organisasi teroris berbiak. Negara sebagai pelindung dan pengayom rakyat tak preventif dan edukatif terhadap apa yang ia biarkan atas nama kebebasan individu.

Memang ada kredit usaha kecil dibangun negara, yang menolong memenuhi kebutuhan usaha bisnis mereka, tetapi mencegah kebutuhan nonbisnis (anak sakit, uang pangkal sekolah, dan membangun rumah) tak pernah terpikirkan sehingga mereka jatuh ke tangan para rentenir.

Strategi

Jasa penagih utang untuk para rentenir memang sudah disiapkan sebagai strateginya dan sudah dianggap budaya, sesuai dengan peribahasa ”utang harus dibayar, piutang harus diterima”. Tak ada kartu kredit dan dokumen tertulis lainnya. Semua berlangsung dalam budaya lisan rakyat kampung. Penyelesaiannya pun juga lisan: ancaman penagih utang.

Namun, utang-piutang dalam kartu kredit itu wilayah budaya tulis, jadi keterpelajaran. Penyelesaiannya bukan secara kampungan yang lisan, melainkan ada jalur hukum tertulisnya pula. Dan, ketika terjadi masalah utang-piutang kartu kredit kelas menengah ini dengan jasa penagih utang, kacaulah budaya.

Kekacauan semacam inilah yang sekarang sedang terjadi di negara reformasi ini. Mencuri mangga dihukum bulanan, korupsi di bawah Rp 25 juta tak dituntut. Budaya tulis masuk budaya lisan. Dan, kini orang mati oleh penagih utang, budaya lisan masuk budaya tulis. Dalam budaya lisan, utang pun juga perjanjian lisan.

Orang mengambil mangga di kebun tetangga itu masuk budaya lisan yang dahulu dilayani hukum adat. Kartu kredit masuk budaya tulis sehingga penyelesaiannya pun menurut hukum yang berlaku: pengadilan. Si pencuri mangga diselesaikan dengan hukum sosial kampung. Kini budaya tulis mengadili budaya lisan dan budaya kredit menggunakan penagih utang.

Tenggang rasa negara pada rakyatnya yang tiga perempatnya masih dalam budaya lisan tidak jalan. Bagaimana gagasan Bung Hatta tentang koperasi rakyat? Peribahasa koperasi rakyat itu ”seutang sebayaran, sepiutang seterima”. Tak ada utang dan piutang gaya rentenir dan kartu kredit. Semuanya dari rakyat untuk rakyat. Bung Hatta, Bapak Koperasi Indonesia, lenyap bersama beliau di mata negara.

Uang adalah kekuasaan, kebenaran, dan keadilan sekarang ini. Mereka yang tak punya uang menjadi korban keadilan itu. Siapa peduli pada keadilan para penagih utang ketika si pengutang dianiaya, bahkan sampai tewas disiksa? Kebenaran dan keadilan tak berlaku buat rakyat yang tak punya uang. Mereka yang punya uang dapat membeli keadilan dan kebenaran. Bahkan, dewa-dewa pun makan suap, kata peribahasa China.

Uang selalu benar. Dan, uang tak punya mata.

Sebagaimana ditulis oleh Jakob Sumardjo / Budayawan di harian kompas 6 April 11

1 komentar:

  1. Anda Mencari pinjaman bisnis , pinjaman pribadi , rumah , kredit mobil ,
    pinjaman mahasiswa , pinjaman hutang konsolidasi , pinjaman jangka pendek , pinjaman tanpa jaminan , risiko
    modal, dll .. Atau apakah Anda pernah ditolak pinjaman bank untuk alasan seperti
    miskin
    Modal ? Perusahaan kami adalah sebuah perusahaan kredit berlisensi . kami memberikan pinjaman untuk bisnis
    dan individu di rendah dan terjangkau
    bunga 2 % . Apakah Anda tertarik ? Hubungi kami sehingga kami dapat mulai
    pengolahan pinjaman Anda dalam 48hours . KONTAK : Recardoroland.loanfirm@gmail.com Tuhan memberkati Anda
    dengan rincian di bawah ini

    BalasHapus

Komentar