Dari Muba Untuk Muba
Blog ini bisa menjadi jendela bagi Kita, Jendela seputar kiprah, kegiatan, ide pikiran , gagasan saya dalam menjalankan tugas sebagai pemimpin daerah Kabupaten Muba. Saya Ingin Masyarakat lebih tahu sejauh mana saya menjalankan amanah ini, dalam penyajiannya Blog ini harus menyajikan info WAJAH YANG TANPA TOPENG. Semoga dapat memberi manfaat. - Salam !
Sabtu, 15 Agustus 2009
MERETAS TRADISI "PANJAT PINANG"
HUT ke-64 Kemerdekaan Republik Indonesia mestinya istimewa. Dalam perspektif kebudayaan Jawa, perayaan 64 tahun disebut perayaan tumbuk ageng. Perayaan yang istimewa!
Dalam siklus kehidupan manusia Jawa, tumbuk ageng merupakan suatu upacara yang dilakukan tepat pada saat seseorang berusia 8 x 8 tahun (> 64 tahun). Pada saat usia 64 tahun ini, hari weton (kelahiran)-nya tepat sama dengan hari pada saat ia sebagai bayi lahir ke dunia sehingga merupakan hari yang penuh berkat.
HUT ke-64 Kemerdekaan RI juga merupakan tumbuk ageng Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bagaimana tumbuk ageng Kemerdekaan RI harus dirayakan dan dimaknai sehingga menjadi hari penuh berkat bagi rakyat Indonesia?
Tradisi ”panjat pinang”
Salah satu pesta rakyat yang selalu menghiasi perayaan kemerdekaan adalah tradisi panjat pinang. Bila dicermati dengan hati hening mata bening jiwa bersih budi jernih, sesungguhnya tradisi panjat pinang sangat kontradiktif dengan perayaan kemerdekaan! Tiga alasan bisa diajukan.
Pertama, tradisi panjat pinang adalah ekspresi tumbal. Mereka yang berada di bawah selalu menjadi tumbal bagi kemakmuran sekelompok kecil manusia yang bertengger nun jauh di atas. Bahkan, tidak segan-segan, yang di atas menginjak kepala yang di bawahnya.
Kedua, tradisi panjat pinang secara dramatik mengekspresikan exploitation de l’home par l’home, eksploitasi manusia oleh sesama manusia. Persis hal ini berlawanan dengan roh kemerdekaan yang dikumandangkan oleh Bung Karno, Proklamator Kemerdekaan RI.
Ketiga, tradisi panjat pinang tak lebih dari ungkapan dari tarian di atas punggung penderitaan orang lain. Nilai kerja sama demi meraih hadiah dengan segala pengorbanan yang berada di bawah tidak sebanding dengan makna kemerdekaan yang direbut oleh para pejuang yang gugur di medan perang.
Karena itu, pemaknaan kemerdekaan sebagaimana dirayakan pada pesta panjat pinang harus diretas.
Jangan-jangan, justru karena kita selalu memaknai perayaan kemerdekaan dengan tradisi panjat pinang, cita-cita NKRI untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial masih jauh panggang dari api!
Sindiran rakyat
Menurut Butet Kartaredjasa (dalam Presiden Guyonan, 2008:4), tradisi panjat pinang sebetulnya merupakan sindiran rakyat kepada para pemimpin republik ini. Sindiran itu terungkap dalam tradisi panjat pinang dan lomba makan kerupuk yang menghiasi perayaan HUT Kemerdekaan RI.
Tradisi panjat pinang dan lomba makan kerupuk setali tiga uang seperti dua sisi sekeping mata uang menampilkan ejekan rakyat kepada para pemimpin bangsa ini. Tradisi panjat pinang dan lomba makan kerupuk merupakan sindiran rakyat terhadap cita-cita kemerdekaan yang tak kunjung terwujud.
Untuk mendapatkan kesejahteraan, rakyat harus saling menginjak kepala satu sama lain. Bahkan, untuk sepotong kerupuk pun rakyat masih harus berjuang keras untuk bisa mengunyahnya.
Kesimpulan Butet atas dua fenomena ini tepat. Pada dua cara merayakan HUT Kemerdekaan RI itu tergambar jelas bahwa para pemimpin yang dipercaya menjadi nakhoda bangsa ini masih konsisten menyelenggarakan kemiskinan rakyatnya!
Simbolisme
Karena itu, kalaupun di banyak daerah masih ada masyarakat (baca: rakyat) yang merayakan HUT Kemerdekaan RI—juga dalam rangka tumbuk ageng Kemerdekaan RI—itu harus dibaca sebagai sebuah simbol!
Pesan dari simbol itu adalah harapan agar para pemimpin negeri ini meretas tradisi ”panjat pinang” dan lomba makan kerupuk yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Jangan biarkan sebagian besar rakyat senantiasa meringis kesakitan menahan beban, sementara segelintir elite politik dan penguasa yang di atas tertawa kegirangan menikmati kesejahteraan!
Kita merindukan agar buah perayaan tumbuk ageng Kemerdekaan RI, yakni bojana andrawina, simbolisme kesejahteraan umum (bonum commune), dapat semakin dinikmati bukan hanya oleh segelintir pejabat daerah maupun pusat, melainkan juga oleh seluruh rakyat Indonesia sebagaimana dicita-citakan dalam Mukadimah UUD 1945.
Maka, meretas tradisi panjat pinang dalam konteks tumbuk ageng Kemerdekaan RI berarti mewujudkan kesetiakawanan sosial kepada rakyat, terutama yang miskin dan lemah; serta meretas keserakahan, kekerasan, dan eksploitasi rakyat Indonesia.
Dirgahayu NKRI!
--------------------------------------
dari Kompas.com /Aloys Budi Purnomo : Rohaniwan; Pemred Majalah Inspirasi, Lentera yang Membebaskan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar