Dari Muba Untuk Muba
Blog ini bisa menjadi jendela bagi Kita, Jendela seputar kiprah, kegiatan, ide pikiran , gagasan saya dalam menjalankan tugas sebagai pemimpin daerah Kabupaten Muba. Saya Ingin Masyarakat lebih tahu sejauh mana saya menjalankan amanah ini, dalam penyajiannya Blog ini harus menyajikan info WAJAH YANG TANPA TOPENG. Semoga dapat memberi manfaat. - Salam !
Sabtu, 15 Agustus 2009
Secarik Pleidoi buat Bu Mega
Demokrasi tanpa oposisi ibarat air tanpa udara. Ia tak lengkap dan politik mati di dalamnya. Sayangnya, republik ini memiliki semacam alergi purba terhadap oposisi.
Bung Karno pernah berpidato di depan Konstituante, ”Saya mencela lagi dengan tandas sistem kepartaian di Indonesia, khususnya sistem oposisi yang merasa tidak berkewajiban untuk mengatakan bahwa pemerintah berbuat baik.”
Kalimat itu adalah semacam prelude dari bangunan demokrasi terpimpin yang diarsiteki Bung Karno sendiri. Sebuah bangunan yang kemudian dirombak sedemikian rupa oleh Soeharto menjadi Demokrasi Pancasila berbasis kekeluargaan.
Berhentinya politik
Politik hanya berlangsung sejenak di republik ini. Politik hanya bergeliat selama dua puluh tahun pertama republik ini. Pada saat itu, berbagai kelompok dengan basis ideologis berbeda saling bersitegang dalam iklim demokratis yang sehat. Nasionalisme PNI, Komunisme PKI, Islamisme Masyumi dan NU, Sosialisme PSI, serta Tradisionalisme Jawa yang tak berpartai tetapi berpengaruh. Kelima ideologi politik tersebut bersaling silang dan menerjemahkan politik dengan sebenar-benarnya: politik antagonisme.
Memang, senantiasa ada irisan di sana sini. Namun, pertentangan ideologis tak bisa dinetralisir oleh ambisi kekuasaan. Nyoto dan Natsir berdebat keras mengenai universalitas konsep kebebasan. Mereka bersitegang soal makna kebebasan beragama. Nyoto berkeras bahwa kebebasan beragama adalah kebebasan berpindah agama. Sementara Natsir lebih memaknai kebebasan sebagai kebebasan umat dalam menjalankan syariat agamanya.
Bung Karno memandang sengketa oposisional antarkelompok ideologis membahayakan nasionalisme. Logikanya, sengketa tersebut akan tumbuh subur dalam humus demokrasi liberal. Beliau pun mencela demokrasi liberal sebagai ”bukan Indonesia”. Demokrasi Indonesia adalah demokrasi jabat tangan berpayungkan nasionalisme. ”Semua kekuatan revolusioner harus disatukan!” kata beliau. Nasakom adalah prototipe politik nasionalisme yang kemudian mengemuka.
Konstituante pun dibubarkan dan UUD 1945 dikembalikan menjadi fondasi konstitusional republik. Pangkal dari semua itu adalah kekhawatiran Bung Karno bahwasanya Konstituante akan melahirkan konstitusi liberal. Maka dari itu, UUD 1945 sebagai konstitusi yang dibangun dengan api nasionalisme adalah sang juru selamat. Namun, satu hal perlu dicatat: UUD 1945 sesungguhnya sudah mencakup beberapa prinsip liberalisme tiga tahun sebelum Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dilegalisasi.
Argumen Bung Karno adalah argumen idealisme politik. Kita sebut saja argumen nasionalisme. Sementara argumen yang beredar di kalangan elite politik dewasa ini adalah argumen pragmatisme politik. Di satu pihak, yang berkuasa menginginkan dukungan absolut untuk menuntaskan masa pemerintahannya. Di lain pihak, yang berniat oposisi berpikir ulang demi ongkos partai dan ambisi politik. Kita tengah menyaksikan sebuah politik yang berhenti berdetak. Air mata mengalir perlahan di sudut mata demokrasi.
Demokrasi air mata
Seorang pria sederhana, wakil wong cilik, meminta Bu Mega untuk tetap tegar (Kompas, 14/8/2009). Sementara sebagian elite PDI-P sedang berkemas untuk sebuah perhelatan koalisi. Namun, air mata adalah kejujuran yang tak dapat ditahan. Air mata Bu Mega adalah air mata demokrasi. Demokrasi republik ini tengah terisak menyaksikan politik nonideologis yang kian mengerdil.
Sepuluh tahun reformasi ternyata menghasilkan mutu politik yang sangat buruk. Apabila dibandingkan dengan dua puluh tahun awal republik ini, politik kontemporer kita ibarat sampah. Padahal, demokrasi pasca-Orde Baru dibangun dengan air mata dan darah para syuhada demokratik. Apakah semua ini harus dibiarkan?
Penulis yakin bahwa politik nonideologis akan menuai kekecewaan, resistensi, bahkan apatisme publik yang kuat. Masa ideologis bukan masa mengambang. Mereka mampu membedakan antara sawah dan pematang. Mereka mampu membedakan antara idealisme politik murni dan ambisi politik berbalut retorika kepentingan partai.
PDI-P adalah satu dari sedikit partai yang memiliki massa ideologis yang kokoh. Kampanye PDI-P baik legislatif maupun presiden berbasiskan platform ideologis yang jelas dan gamblang. Ideologilah yang membuat PDI-P berdiri diametral dengan posisi pemerintah. Apakah semua itu akan dilupakan demi ambisi politik jangka pendek? Demokrasi sedang menggantungkan harapan di pundak PDI-P.
Hukum politik berbunyi, ”hanya partai ideologis yang memiliki massa ideologis”. Partai oportunis berpotensi kehilangan massa ideologisnya. Ketika elite partai berkemas meninggalkan ideologi partai, massanya pun berkemas meninggalkan partai sebagai rumah ideologis yang telah rusak. Mereka tidak membutuhkan kedudukan, uang, atau kemudahan. Mereka membutuhkan konsistensi, integritas, dan kejujuran ideologis. Mungkin terdengar naif. Namun, ini tidak akan terdengar naif ketika sebuah partai kehilangan separuh kadernya.
Pertarungan pascapilpres adalah pertarungan antara politik tinggi dan politik rendah. Pertarungan pascapilpres adalah pertarungan antara politik ideologis dan politik oportunis. Politik ideologis adalah asketisme yang mampu mengelola ambisi demi integritas dan kemuliaan politik itu sendiri. Politik oportunis, sebaliknya, menghancurkan semua prinsip dasar kemuliaan politik. Kita akan sangat kehilangan apabila politik oportunis kemudian menjadi dominan dan menghentikan politik oposisi untuk selamanya.
Oposisi adalah harga mati dalam demokrasi. Sesuatu yang tidak dapat dijadikan obyek negosiasi demokratis. Bisa dibilang, politik oposisi adalah ”yang abadi” dalam demokrasi. Pemerintahan sebuah rezim demokratis dapat silih berganti. Namun, politik oposisi tetap bertahan. Di republik ini, politik oposisi harus bertahan di tengah deraan idiom seperti ”gotong royong”, ”kekeluargaan”, ”kebersamaan”, ”persatuan”, dan lain sebagainya. Berbagai idiom tersebut adalah ruang bagi tumbuhnya totalitarianisme mulai dari yang sangat sumir sampai sangat telanjang.
Pertanyaannya, mampukah PDI-P di bawah kepemimpinan Bu Mega menahan deraan tersebut? Mampukah air mata berubah menjadi pedang untuk menebas oportunisme dan kekerdilan politik. Di tangan PDI-P lah semuanya berpulang. Apa yang diperjuangkan PDI-P bukan sekadar kekokohan ideologi partai tersebut. Lebih dari itu, PDI-P tengah memperjuangkan sebuah kemuliaan politik yang akan dicatat sejarah. Demokrasi sedang hamil tua. Jangan menangis Bu Mega.
--------------------------------------
Donny Gahral Adian Dosen Filsafat UI
kompas.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar