Bulan depan, tanggal 17 Agustus 2013, genaplah usia kemerdekaan kita 68 tahun, sesuatu yang patut kita syukuri dengan segala plus-minusnya perjalanan bangsa dan negara ini. Di samping sisi-sisi positif dan konstruktif, kita tidak boleh menutupi sisi-sisi gelap bila kita tempatkan di bawah nilai-nilai luhur Pancasila.
Dengan diberi bobot dan nuansa baru di sana-sini, Resonansi ini didasarkan kepada makalah yang disampaikan di depan Forum Purnawirawan Perwira TNI dan undangan lainnya, bertempat di Gedung Cawang Kencana, Jakarta, pada 27 April 2006, dihadiri oleh sektar 300 peserta. Setelah berjalan tujuh tahun, keadaan bangsa dan negara belum juga ada perubahan fundamental. Pancasila tetap saja tidak dipedomani secara nyata dalam cara kita mengurus bangsa dan negara, suatu kelengahan konstitusional yang sangat menyakitkan, jika bukan telah dan sedang berlakunya pengkhianatan kolektif. Keadilan sosial masih jauh dari kenyataan sebagian besar rakyat Indonesia.
Setiap pergantian sistem kekuasaan selama kurang-lebih 68 tahun Indonesia merdeka, selalu saja ada harapan untuk kebangkitan dan perubahan mendasar agar lebih adil dan lebih baik. Tetapi, setelah sistem baru berjalan dengan 1.000 janji, kekecewaan dan rasa tidak nyaman di kalangan rakyat luas mencuat lagi dan lagi. Dengan demikian, kebangkitan sejati belum pernah terjadi selama sekian dasawarsa di era kemerdekaan.
Mula-mula kekecewaan itu dirasakan oleh kelompok kecil, kemudian radiusnya semakin meluas sehingga negara tidak mampu mengontrolnya lagi. Sistem Demokrasi Terpimpin (1959-1966) dan Demokrasi Pancasila (1966-1998) telah roboh secara dramatis, pertumpahan darah sesama anak bangsa sukar sekali dihindarkan. Ajaibnya adalah, Pancasila secara formal konstitusional tetap berada pada posisi puncak, sedangkan nilai-nilai luhurnya tidak pernah dijadikan pedoman dan acuan secara sungguh-sungguh dalam cara kita bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Era Reformasi sejak 1998 sampai sekarang dengan slogan anti-KKN, otonomi daerah, dan demokratisasi, ternyata telah berjalan tersendat-sendat, sementara tingkat pengangguran tidak semakin berkurang, berbarengan dengan munculnya orang kaya baru yang diuntungkan. Bahkan, ada pendapat yang mengatakan, Gerakan Reformasi telah mati suri.
Pertanyaannya adalah, mengapa bangsa ini tidak becus mengurus dirinya? Di mana letak kelemahan kita dalam berbangsa dan bernegara selama ini? Uraian berikut akan mencoba memberikan jawaban kualitatif terhadap pertanyaan-pertanyaan semacam itu dan pertanyaan lain yang relevan.
Di sekitar era proklamasi 1945 dan tahun 1950-an, kita memang terganggu oleh masalah pertarungan Pancasila versus Islam sebagai dasar negara. Tetapi, dengan dikukuhkannya Pancasila sebagai dasar filosofi negara di era 1980-an dan diterima kemudian oleh kalangan masyarakat luas, sebenarnya masalah fundamental ini telah selesai.
Sekarang hampir tidak ada lagi kekuatan politik yang berarti yang mampu melawan kenyataan ini. Sekalipun masih ada beberapa kelompok masyarakat yang mencoba menghidupkan kembali kesetiaan primordialnya, pasti tidak mendapat pasaran yang berarti dalam proses kenegaraan kita.
Adapun sekarang Pancasila sudah jarang disebut sejak 15 tahun terakhir, jangan diartikan bahwa filosofi ini ingin diganti dengan yang lain. Sama sekali tidak. Yang terjadi di bawah permukaan adalah kekecewaan berat masyarakat karena nilai-nilai luhur Pancasila itu lebih banyak dijadikan retorika politik, sedangkan dalam perbuatan nilai-nilai itu malah dikhianati tanpa rasa malu. Jadi, yang berlaku adalah pengkhianatan terhadap Pancasila dalam praktik.
Mari kita cermati dalam kehidupan kolektif kita bagaimana nilai-nilai luhur Pancasila tidak lagi hidup dalam menuntun perilaku kita sebagai bangsa. Sila pertama adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Semestinya, sila ini dijadikan payung moral oleh semua kita. Benar, masjid, gereja, wihara, pura, klenteng, dan lain-lain tempat ibadat masih banyak pengunjungnya. Tetapi, apakah kehadiran orang di tempat-tempat ibadah itu ada pengaruhnya dalam memperbaiki perilaku kita sebagai individu atau secara kolektif? Saya sangat meragukan.
Dalam pantauan saya, sebegitu jauh proses internalisasi nilai-nilai luhur Pancasila belum terjadi secara efektif, terutama di kalangan pejabat tinggi, apalagi di kalangan politisi. Kenyataan ini sungguh sangat memprihatinkan. Tempat-tempat ibadah yang terus bertambah seperti tidak ada korelasi positif dengan perubahan perilaku ke arah kebaikan dan kejujuran. Ini suatu yang sangat serius yang sedang melingkungi kita, sebuah pertunjukan kemunafikan sosio-kultural yang masih menerpa bangsa ini secara keseluruhan.
Sila kedua adalah “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Rumusannya sangat padat dan padu, memberi arah yang jelas ke mana bangsa ini semestinya bergerak. Tetapi, kenyataan pada masa-masa tertentu dan di daerah tertentu, sejak beberapa tahun belakangan, yang berlaku adalah proses penindasan kemanusiaan dengan cara yang zalim dan biadab. Tidak jarang dilakukan dengan alasan politik, ekonomi, dan bahkan agama. Kita telah kehilangan perspektif moral dalam berhubungan sesama anak bangsa.
Sistem politik sentralistis selama puluhan tahun telah menginjak-injak sila ini dengan membunuh rasa keadilan dengan cara yang tidak beradab. Di era reformasi, keliaran politik dan ekonomi semakin tidak dapat dibendung dan dikendalikan. Akibatnya, partisipasi dalam pemilu telah merosot secara dramatis.
Demokrasi dijadikan ajang pertarungan berebut rezeki dan kekuasaan, sementara sebagian besar politisi masih saja merasa benar di jalan dusta tunanurani.
Kasus Aceh dan Papua sesungguhnya dapat dicari akar utamanya karena pengingkaran sila ini dan sila kelima berupa “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Begitu rapuhnya penghayatan kita terhadap sila kedua ini, ribuan tenaga kerja Indonesia (TKI)/ tenaga kerja wanita (TKW) yang tertindas sewaktu akan berangkat, di tempat bekerja, dan setelah pulang ke Tanah Air seperti tidak mendapat perlindungan yang memadai, khususnya dari instansi yang terkait.
Padahal, tenaga kerja ini telah memasukkan triliunan rupiah ke devisa negara saban tahun. Penderitaan mereka yang tidak berujung ini telah menjadi pengetahuan kita semua, tetapi nasib mereka tetap saja tak tertolong.
Sila ketiga adalah “Persatuan Indonesia”. Ini menyangkut masalah integrasi nasional yang telah diupayakan sejak awal abad ke-20. Adalah sebuah pandangan yang ahistoris jika kita menganggap bahwa persatuan bangsa sebagai sesuatu yang given dan final dengan adanya Sumpah Pemuda 1928 dan Proklamasi 17 Agustus 1945.
Dua tonggak sejarah ini hanyalah modal utama untuk melangkah selanjutnya dalam upaya mengisi kemerdekaan. Masalah integrasi nasional yang terganggu akhir-akhir ini disebabkan oleh sikap salah pandang itu. Kita lupa bahwa masalah persatuan bangsa adalah sebuah proses yang tidak pernah selesai. Karena dia bergerak terus, maka kelalaian kita selama ini dalam memelihara dan merawatnya telah memicu munculnya gejala disintegrasi yang sangat berbahaya bagi hari depan Indonesia.
Lagi-lagi, di sini masalah keadilan yang telantar sekian lama menjadi faktor pokok mengapa kekuatan disintegratif mendapat peluang untuk memperjuangkan kemerdekaan daerahnya, lepas dari bingkai Republik Indonesia yang sudah kita bangun dengan susah payah.
Pendekatan militer semata untuk mencegah gerakan separatis ini tidak akan pernah efektif selama inti persoalannya berupa keadilan tetap saja tidak dihiraukan.
Sila “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam permusyawaratan/perwakilan” sebagai sila keempat merupakan sumber primer bagi sistem demokrasi yang ingin ditegakkan di Indonesia. Tetapi, karena pengaruh subkultur semifeodal atau sikap kebaratbaratan di kalangan sementara elite bangsa, kita sampai hari ini belum lagi mampu menciptakan sebuah sistem politik demokrasi yang kuat dan sehat sesuai dengan kondisi Indonesia.
Dalam sistem Demokrasi Liberal (1950-1959), Demokrasi Terpimpin (1959-1966), dan Demokrasi Pancasila (1966-1998), mereka yang mengaku sebagai pendukung demokrasi lebih banyak dalam teori, sementara dalam realitas politik mereka tidak toleran, sempit dada, dan mau menang sendiri. Akibatnya jelas, demokrasi tidak semakin mendekatkan bangsa kepada tujuan kemerdekaan: terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Demokrasi tanpa rasa tanggung jawab terhadap kepentingan yang lebih besar dan budaya lapang dada bukan penyelesaian bagi hari depan Indonesia. Sementara, sistem otoritarian telah membunuh kekuatan-kekuatan kreatif yang pernah dimiliki bangsa ini.
Sila kelima adalah “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, sebuah sila yang manis sekali, tetapi telah kita sia-siakan sejak Proklamasi. Sedikit sekali perilaku kita yang dibimbing oleh sila ini dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Keretakan antara kata dan laku semakin menganga dari hari ke hari, dari sistem politik yang satu ke sistem yang lain. Kelatahan kita dalam menghayati dan melaksanakan sila ini sesungguhnya adalah faktor yang paling krusial mengapa masalah integrasi nasional belum semakin mantap dari waktu ke waktu, tetapi kita tidak juga mau belajar dari keteledoran ini.
Pada era Demokrasi Liberal dengan kekuasaan partai yang begitu besar, kabinet jarang sekali yang berumur panjang. Jika berlaku perbedaan pandang antara pemimpin partai yang belum tentu mengenai masalah mendasar, langsung kabinet dijatuhkan untuk diganti oleh kabinet yang baru dengan nakhoda yang lain. Kejadian ini berlangsung berkali-kali sehingga kabinet tidak pernah berusia sampai lima tahun. Ganti kabinet, ganti kebijakan dan program. Pemborosan energi politik terjadi berulang-ulang, tanpa rasa dosa terhadap bangsa dan negara.
Di era Demokrasi Terpimpin, kabinet dapat bertahan sampai enam tahun, tetapi demokrasi itu sendiri harus takluk ke bawah sistem otoritarian dengan subkultur semifeodal yang ada di belakang. Partai-partai yang tidak sejalan dengan penguasa disingkirkan untuk kemudian dibubarkan. Di bawah sistem ini, demokrasi tinggal nama dan Pancasila hanyalah dipakai untuk pembenaran terhadap libido kekuasaan tanpa kontrol.
Politik menjadi panglima, aspek kenegaraan yang lain harus tunduk kepada kehendak panglima. Sistem ini kemudian berantakan dan berguguran ibarat rumah yang terbuat dari kartu (untuk meminjam Bung Hatta) melalui tragedi berdarah dalam bentuk G30S/PKI. Entah berapa puluh ribu nyawa anak bangsa yang tertumpah sebagai biaya dari konflik politik dengan skala nasional. Tragedi ini berlaku enam tahun setelah Dekrit 5 Juli 1959 dengan mengukuhkan Pancasila dan UUD 1945, tetapi dengan mengorbankan Majelis Konstituante yang dinilai gagal menjalankan tugas konstitusionalnya.
Demokrasi Liberal telah gagal karena ketidaksabaran elite politik, Demokrasi Terpimpin berakhir dengan malapetaka nasional. Sejak paruh kedua tahun 1960-an, kita coba pula sistem baru yang kemudian dikenal Demokrasi Pancasila dalam format Orde Baru, di mana terjadi kongsi antara militer dan sipil dari kalangan “Mafia Berkeley”.
Semula sistem ini telah berhasil menekan inflasi yang pada akhir era Demokrasi Terpimpin telah mencapai 650 persen, dan laju pembangunan dipuji banyak pihak, dalam dan luar negeri. Booming bahan bakar minyak (BBM) pada tahun 1970-an telah semakin memberi legitimasi kepada sistem kekuasaan yang sedang berjalan, sehingga kesetiakawanan antara Soeharto dan AH Nasution yang berantakan seperti tidak dipedulikan orang lagi. Apalah salahnya mengorbankan seorang Nasution demi pembangunan bangsa. Begitu kira-kira logika yang berlaku saat itu.
Awal 1980-an, proses pembusukan sistem ini mulai terasa pada saat keluarga penguasa terjun ke dunia bisnis, tetapi sistem kekuasaan masih bertahan sampai suatu ketika datang angin puting beliung berupa krisis moneter di Asia Timur sejak 1997.
Indonesia ternyata adalah negara yang paling rapuh dan rentan dalam menghadapi angin limbubu ini. Pada waktu negara-negara lain di kawasan ini telah berhasil memulihkan kondisi ekonominya, kita tetap saja bingung dan tertatih-tatih selama beberapa tahun karena tidak percaya diri.
Korupsi yang menggurita, kumulatif, dan sistemik, telah menawan bangsa ini sampai batas yang sangat jauh. Kekuatan Reformasi yang tidak pernah kompak itu telah semakin memperparah situasi yang memang sudah parah. Selama 15 tahun terakhir, pergantian kepemimpinan nasional telah terjadi sebanyak empat atau lima kali.
Lagi, setiap ada pergantian, muncul harapan baru untuk kemudian dalam tempo singkat redup lagi, sementara nasib rakyat kecil tetap saja tidak tertolong. Mereka cukup dipuaskan dengan janji-janji kosong yang tidak ditepati. Ada slogan bagus dalam kampanye “bersama kita bisa”, dalam kenyataannya “bersama kita berdusta”. Atau memang bangsa ini terlalu besar sehingga kita tidak mampu mengurusnya?
Dengan utang negara sekitar Rp 2.000 triliun, luar negeri dan domestik, dapat dibayangkan betapa rapuhnya fundamental keuangan negara kita. Angka ini bila dibagi dengan jumlah penduduk 250 juta, maka setiap anak Indonesia sedang menanggung beban utang masing-masing Rp 8 juta. Kita tidak tahu persis berapa persen dari utang yang menggunung itu dipakai untuk kepentingan bersama dan berapa persen pula yang telah digarong.
Secara formal konstitusional Pancasila tetap berada di puncak, dalam realitas kita mengkhianatinya secara kolektif, seperti telah disinggung di atas. Akibatnya, budaya saling percaya antara sesama anak bangsa telah semakin menghilang, patriotisme semakin memudar, kita telah kehilangan perspektif masa depan. Seakan-akan negeri ini sudah tidak bertuan, padahal proses demokrasi kita sewaktu diadakan pemilihan langsung presiden dan wakilnya tahun 2004, seluruh dunia angkat topi kepada Indonesia. Kata mereka, ternyata Islam cukup compatible dengan sistem demokrasi. Tetapi, peluang emas ini tidak cepat ditangkap sampai keadaan kembali memburuk. Rasa cemas dan ngeri dalam menatap masa depan sekarang dirasakan semua pihak, hampir tanpa kecuali. Saya sudah berbicara dengan banyak kalangan. Kesannya sama: keadaan tidak semakin baik.
Saya mengamati, kekurangan kita terutama terletak pada kenyataan sukarnya menemukan tipe pemimpin yang mau berjibaku membela bangsa dan negara. Situasi sekarang sangat tidak normal, demokrasi yang sedang berjalan adalah demokrasi setengah liar plus kebanyakan politisi yang tidak bertanggung jawab. Sedikit sekali di antara mereka yang memikirkan bangsa ini secara sungguh-sungguh. Sebagian besar malah menikmati kondisi demokrasi yang centang perenang ini karena ada peluang memperkaya diri di lautan kemiskinan yang melanda sebagian besar rakyat kecil kita.
Apa yang disebut sense of crisis sudah tidak singgah lagi di otak mereka. Seakan-akan semuanya masih berjalan normal. Dalam situasi yang serbagalau ini, kita memerlukan munculnya pemimpin “gila” tetapi mengerti bagaimana nilai-nilai Pancasila itu dilaksanakan dalam perbuatan secara konsekuen dan bertanggung jawab. Tanpa pemimpin “gila” yang disinterested, akan sulit bagi bangsa ini untuk bangkit secara autentik dalam tempo yang tidak terlalu lama. Atau kita memang rela membiarkan bangsa ini tenggelam?
Tentu mereka yang gila dalam bentuk lain sajalah yang sampai hati melihat bangsa ini hilang dari peta bumi. Ada dua tipe gila di sini: satu, “gila” dalam tanda kutip, yang lain gila karena putus asa sehingga tidak mampu lagi melihat di ujung lorong sana masih ada seberkas sinar, asal kita mau berubah secara radikal memperbaiki keadaan bangsa.
Bagian terakhir dari tulisan ini mungkin terasa agak ganas. Tetapi di balik itu semua tersimpan harapan besar yang tulus dari seorang senior citizen agar kita mau berubah secara fundamental dengan menjadikan Pancasila yang disinari wahyu sebagai acuan utama kita dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Penyelesaian secara revolusi tampaknya tidak akan berjaya, sementara korbannya pasti akan sangat besar.
Oleh sebab itu, kita perlu duduk bersama membicarakan masalah bangsa ini secara komprehensif, tajam, tetapi tulus, sehingga kondisi mutual distrust (saling tidak percaya) dapat diubah menjadi mutual trust (saling percaya) dan kita akan dapat merumuskan bahasa dan langkah bersama untuk bangkit. Kita hanya bisa bangkit bila mau berdiri di atas kekuatan kita sendiri. Kalau pun ungkapan revolusi dipandang perlu, itu sifatnya adalah mental, sebuah mental revolution ke arah perbaikan dan pemulihan kehidupan bangsa dan negara secara menyeluruh, terarah, dan bertanggung jawab.
Apakah Pemilu 2014 akan menjawab semua ketidakpastian di atas, mari kita tunggu, dan gerak bola harus diarahkan kepada terpilihnya para pemimpin yang visioner, berani, dan bertanggung jawab, bukan pemimpin yang hobinya merengek, mengeluh, dan berlaku culas. Faktor terbesar mengapa kita setengah gagal mengurus bangsa dan negara terletak pada masalah kepemimpinan yang tidak menjadikan Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 dalam bahasa yang tegas dan jelas sebagai pedoman pertama dan utama dalam bertindak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar