PERINGATAN Sumpah Pemuda
berlangsung dalam situasi nasional yang mengalami kelembaman pemimpin
muda. Penduduk berusia muda (16-30 tahun) mengalami penggelembungan
dalam struktur demografi Indonesia, tetapi mental muda mengalami
pengempisan.
Situasi melenceng jauh dari khitah perjuangan
Indonesia. Tan Malaka menyatakan, "Idealisme adalah kemewahan terakhir
yang hanya dimiliki pemuda." Dengan itu, ia menekankan nilai penting
pemuda sebagai benteng terakhir pertahanan bangsa dan kekuatan inti
pemuda itu adalah idealisme.
Pendefinisi utama pemuda bukanlah usia, melainkan idealisme "muda",
situasi kejiwaan yang bisa membebaskan diri dari kejumudan dan kerusakan
mentalitas tua. Meski begitu, mereka yang "berusia muda" mestinya lebih
berani mengemban visi perubahan karena tidak terlalu digayuti beban
masa lalu. Meminjam pandangan Hatta, generasi baru kaum terdidik, dengan
kemampuannya untuk membebaskan diri dari kolonisasi kesadaran, lebih
mungkin mengambil inisiatif untuk membangkitkan kekuatan rakyat dan
menyediakan basis teoretis bagi aksi-aksi kolektif.
Apa yang kita dapati hari ini, para aktivis muda tak mampu
membebaskan diri dari hipnosis "kaum tua", tak bisa menarik garis batas
antara masa lalu dan masa depan. Partai politik dan organisasi sosial
gagal melahirkan kaderisasi intelektual organiknya, sebagai artikulator
visi kolektif yang berkemampuan mereproduksi dan merumuskan ulang
tradisi dan identitas bersama dalam merespons tantangan baru. Tanpa
kemunculan intelektual organik, perkumpulan menjadi kerumunan dari
kepentingan pribadi, yang tidak bisa dihadirkan suatu "generasi"
perubahan.
Istilah generasi tak sekadar merepresentasikan kolektivitas atas
dasar kesamaan usia, tetapi juga kesamaan pengalaman dan panggilan
kesejarahan. Seperti dinyatakan Ron Eyerman, "Konsepsi sosiologis
mengenai generasi mengimplikasikan lebih dari sekadar terlahir pada masa
yang hampir sama. Konsepsi itu menyatakan sebuah kesamaan pengalaman
sehingga menciptakan sebuah dasar bagi cara pandang yang sama, orientasi
tujuan yang sama, sehingga bisa mempersatukan para pelaku, ... dan
terutama sekali jika seseorang memiliki karakteristik-karakteristik yang
sama dengan yang lain, seperti kesamaan latar belakang sosial dan juga
tata nilai."
Tanpa kehadiran suatu generasi perubahan, memimpikan kehadiran
"pemimpin muda" bak pungguk merindukan bulan. Demi menghadirkan generasi
perubahan, yang dapat "memudakan" kembali politik Indonesia, diperlukan
suatu creative destruction atas kejamakan politik hari ini, dengan
melakukan transformasi dalam dimensi institusional dan kultural.
Gerontokrasi bersumber dari institusionalisasi demokrasi yang lebih
memberikan peluang bagi kepemimpinan berbasis "alokatif" (kemampuan
mobilisasi sumber dana) ketimbang "otoritatif" (kapasitas manusia).
Institusionalisasi demokrasi yang padat modal ini terjadi dalam jagat
politik yang masih mewarisi tradisi kepemimpinan "patrimonial" (negara
seolah milik sendiri) serta mengalami apa yang disebut Robert Reich
sebagai proses pendalaman "superkapitalisme".
Dalam relasi unholy trinity, antara kekeliruan desain institusional,
tradisi kepemimpinan patrimonial, dan superkapitalisme tersebut,
peluang munculnya "pemimpin muda" dengan "idealisme muda" menyempit. Di
bawah bayang-bayang tradisi patrimonial, politik dikuasai menurut garis
dinasti. Di bawah penetrasi superkapitalisme, pemilik modal berusaha
menguasai politik atau setidaknya cenderung mendukung pemimpin tua yang
dianggap lebih berpeluang menang.
Akibatnya, dunia politik hanya mengenal dua bahasa: "siapa yang
menang/berpeluang menang" dan "apa untungnya", tidak pernah
mempersoalkan "apa dan siapa yang tepat". Karena peluang untuk menang,
yang dikondisikan oleh desain institusi demokrasi, lebih mengandalkan
sumber daya alokatif ketimbang otoritatif, tokoh-tokoh muda yang ingin
segera memimpin cenderung mengorbankan idealisme dengan ikut hanyut
dalam tarian pragmatisme permainan uang.
Untuk mengatasi hal itu, perlu ada perjuangan bersama untuk
mendesain ulang institusi demokrasi kita, dengan lebih memberikan
peluang bagi kepemimpinan yang berbasis otoritatif. Salah satu cara yang
bisa ditempuh adalah lewat aneka regulasi yang dapat mendorong
"demokratisasi internal partai", pembatasan biaya politik, dan penetrasi
modal ke dalam politik.
Transformasi institusional di atas harus sejalan dengan transformasi
kultural. Pendirian Budi Utomo dan Sumpah Pemuda merupakan percobaan
berani dari minoritas kreatif pada zamannya untuk secara sadar
memperjuangkan gerakan kemajuan dan persatuan kebangsaan. Gerakan
kemajuan yang diupayakan lewat pemupukan modal sosial dan pengikatan
bersama elemen-elemen pemuda progresif melahirkan gelombang perubahan
berskala nasional yang membuka jalan bagi kemerdekaan RI.
Membangkitkan elan vital keindonesiaan membutuhkan prasyarat
budaya-mentalitas untuk bangkit. Perubahan sikap ini terutama
dialamatkan pada sumber daya muda sebagai elemen terbesar penduduk
Indonesia. Kita harus mengakhiri mitos yang memandang senioritas sebagai
ukuran kualitas dan tumpuan perubahan. Mitos baru harus dimunculkan
dengan memercayai kapasitas kaum muda sebagai agen perubahan.
Dengan menggali modal sejarah, dapat dipulihkan kepercayaan baru
bahwa Indonesia tanpa daya muda adalah Indonesia yang mengabaikan
fitrahnya. Dengan "memudakan" kembali Indonesia, gerontokrasi memasuki
musim gugur, disusul kedatangan musim semi pemimpin muda dengan
idealisme muda. (*)
Yudi Latif Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan
Sumber: kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar