Dari Muba Untuk Muba

Blog ini bisa menjadi jendela bagi Kita, Jendela seputar kiprah, kegiatan, ide pikiran , gagasan saya dalam menjalankan tugas sebagai pemimpin daerah Kabupaten Muba. Saya Ingin Masyarakat lebih tahu sejauh mana saya menjalankan amanah ini, dalam penyajiannya Blog ini harus menyajikan info WAJAH YANG TANPA TOPENG. Semoga dapat memberi manfaat. - Salam !

Jumat, 07 Agustus 2009

Kiemas & Politik Sam Kok


Taufiq Kiemas (TK) salaman dengan SBY dan diteruskan pujian terhadap program sang presiden terpilih ke depan. Benarkah ini sebagai sinyal PDIP ‘merapat’ ke Demokrat? Bagaimana nasib gagasan besar partai ini untuk istiqomah jadi oposisi?

Kalau mau jujur, PDIP itu mutual nakhoda, Mbak Mega dan TK suaminya. Uniknya, keduanya beda haluan dan beda pemahaman. Alur pikiran itu bisa disimak dari kebijakan partai. Politis dan strategis diasumsikan sebagai konsep TK, sedangkan polos, terlalu jujur dan kaku dianggap gagasan Mbak Mega. Keduanya sejauh ini nampak tidak bermasalah.

‘Harmonisasi’ itu terganggu saat pilpres. Ini ketika pihak luar masuk ke dalam. Prabowo Subianto dari Gerindra harus menyatu untuk jadi pasangan Mega. Penyatuan itu sangat alot. Keduanya saling ngotot tampil sebagai calon orang nomor satu di republik ini. Akibat itu kata sepakat ‘baru’ didapat larut malam.

Kesepakatan itu mengubur rencana koalisi dengan Demokrat yang TK ‘rancang’. Membiaskan langkah Hatta Rajasa yang bolak-balik ke Teuku Umar untuk ‘urusan sertifikat rumah’. Yang memprihatinkan, berlakunya ‘kesepakatan mengikat’ yang ditawarkan Prabowo.

Kini setelah kalah pilpres, PDIP kehilangan segala-galanya. Tidak punya ‘kuasa’ dan menjadi ‘partai yang tergadai’. Sumber yang layak dipercaya menyebut Prabowo bersedia mendampingi Mbak Mega di 2009 dengan ‘syarat berat’ jadi jagioan PDIP di Pilpres 2014.

Melihat itu, sebagai politisi kawakan TK sadar PDIP sudah di ambang senja. Dia tak mau sikap Mega yang ‘keras kepala’ akan memperpuruk partai ini. Maka TK buru-buru ‘mencegat’ SBY lalu memujinya setinggi bukit Pacitan. Buntutnya ‘ekstremitas’ sikap ini yang sekarang sedang sibuk ditafsir luar maupun internal PDIP.

Bagi penulis, langkah yang diambil TK amat berani sekaligus jenius. Saya ingat politik Sam Kok yang berkembang di Tiongkok abad XIV Dinasti Ming. Dengan strategi trisula, raja yang kalah pun jadi pemenang, apalagi yang menang.

Sam Kok yang literer bermakna tiga kerajaan itu dikejawantahkan sebagai sebuah strategi ‘menempatkan’ kawan di pihak lawan, dan membentuk milisi oportunis. Dengan sistem ini kekalahan adalah kemenangan yang tertunda, dan jika menang akan terjaring mitra koalisi yang memperkokoh kekuasaan.

Sam Kok yang ditulis Luo Guanzhong (1330-1400) itu tetap aktual untuk dikaji dan diteladani. Kisah nyata yang terjadi tahun 184-280 itu bisa dibuat pakem dalam berpolitik. Tiga kerajaan, Wei dengan Raja Cao Cao, Wu dengan Raja Sun Quan, dan Shu yang dimotori ahli militer Zhu Geliang tampil penuh karakter.

Pertarungan politik dan militer yang melibatkan ‘tiga lawan’ yang hakekatnya ‘kawan’ itu diuntai amat memikat. Dengan strategi ‘menampung panah dengan perahu jerami’, serta ‘mengosongkan kota’ untuk memerangkap lawan, maka pengambil-alihan kuasa tertuang secara indah dan cerdas. Berkat itu Tiongkok pun bersatu.

Bagi PDIP yang punya massa fanatik, strategi ini sangat pas. Sebab yang dibutuhkan untuk merealisasi konsep politik Sam Kok adalah kultus dan loyalitas. Tapi adakah ‘langkah’ TK itu bisa diterima ‘sang istri’ yang sering menerapkan ‘jurus pokok’e’?

Kita tunggu saja.

adopsi dari Detik.com
*Djoko Suud Sukahar: pemerhati budaya, tinggal di Jakarta.

1 komentar:

Komentar