Dari Muba Untuk Muba

Blog ini bisa menjadi jendela bagi Kita, Jendela seputar kiprah, kegiatan, ide pikiran , gagasan saya dalam menjalankan tugas sebagai pemimpin daerah Kabupaten Muba. Saya Ingin Masyarakat lebih tahu sejauh mana saya menjalankan amanah ini, dalam penyajiannya Blog ini harus menyajikan info WAJAH YANG TANPA TOPENG. Semoga dapat memberi manfaat. - Salam !

Kamis, 15 Desember 2011

Bahasa Politik Soekarno dan Jenderal Soeharto

Dalam berkomunikasi dengan bahasa, kata-kata tidak pernah punya arti baku maupun kaku. Manusia dan komunitas manusia selalu berbahasa dengan memanfaatkan permainan-permainan bahasa. Karena itu sudah ribuan tahun mereka saling berdebat, bertengkar bahkan berperang tentang kata-kata dalam sengketa teori-teori politik, tanpa menyadari bahwa di sana ada permainan kata yang berperan dan patut diperhatikan. Para penguasa biasanya memanfaatkan permainan ini dengan menafsir kata-kata menurut seleranya sendiri, hingga perbincangan paling pokok demi mengangkat taraf hidup rakyat banyak, dibuat kabur dan simpang-siur. Akibatnya elite-elite penguasa itu, dari jaman ke jaman, masih saja berkuasa dengan cara-cara sesuka mereka sendiri.

Pernyataan ini saya kutip secara bebas dari pandangan seorang filosof Wina, Ludwig Wittgenstein, terutama tentang masalah sprachspiel yang apabila diindonesiakan kira-kira menjadi: utak-atik bahasa. Sebagai manusia Indonesia yang hidup dalam permainan wayang serta ajang tarik-menarik pasca fasisme Soeharto, mestinya cukup peka memahami pemikiran-pemikiran Ludwig di atas. Soeharto dalam sepanjang kekuasaannya hampir tak pernah alpa dengan permainan bahasa ini, yang membuatnya dapat berkuasa dengan menyengsarakan rakyat-banyak selama masa puluhan tahun.

Dengan memaknai dan menafsir kata-kata seenaknya dan sesukanya sendiri, Soeharto cukup berhasil mengelabui dan membohongi rakyat Indonesia, hingga selama puluhan tahun itu ia telah menjadi idola yang dipuja-puja sebagai bapak pembangunan suatu istilah yang diciptakannya sendiri yang kemudian memutarbalikkan fakta-fakta sesungguhnya mengenai jutaan rakyat yang dikorbankan (secara kias maupun harfiah) akibat pembangunan yang dibanggakannya itu.

Tentu saja seorang pemimpin fasis tidak akan dapat bertahan dalam hitungan bulan ataupun tahun, jika saja tidak lihai dan licik dalam memanfaatkan permainan-permainan bahasa yang gencar disusupkan ke dalam benak rakyatnya.

Sepanjang Kekuasaan Soeharto

Kita masih ingat bagaimana kelihaian Soeharto dan kroni-kroninya ketika bersepakat menggulingkan Bung Karno dari kepemimpinannya. Sejak tahun 1965 telah diluncurkan istilah Gestapu untuk menuding pelaku peristiwa G30S. Tujuan politik dari teknik permainan ini cukup jelas, yakni suatu dampak psikologis yang disusupkan  ke dalam benak rakyat, agar mereka menyejajarkan peristiwa itu dengan konsep Gestapo dari partai Nazi Jerman.
Setiap orang yang mengasah nuraninya akan kepekaan sejarah, mudahlah dimengerti bahwa teknik propaganda ini telah berabad-abad lalu diciptakan manusia, yang biasanya dimanfaatkan oleh sekelompok angkatan perang guna memancing rasa kebencian, mengungkap gambaran-gambaran sang musuh sebagai penitisan kebejatan, membeberkan lambang-lambang mengenai penderitaan manusia, bahkan penyebab dan asal-mula kekejian dan pembantaian, sejak kekuasaan diciptakan sampai kapanpun ia dapat bertahan.

Teknik ini terbilang ampuh hingga sepanjang sejarah terus-menerus dimanfaatkan oleh angkatan perang di seluruh dunia. Dan pada jaman ini, terutama di era Orde Barunya Soeharto tak dapat disangsikan lagi terlampau banyak sarana teknologi guna memberitakan kabar maupun isu-isu untuk mengungkap lambang ciptaan itu, hingga dapat membuat bulu-kuduk berdiri kengerian, ataupun membuat wajah tersenyum merekah.

Karena itu tak perlu diherankan mengapa di awal-awal kekuasaannya, Soeharto selaku kepala Kostrad mengadakan aksi-aksi terobosan untuk mengambil-alih RRI dan kantor telekomunikasi yang letaknya di jalan Medan Merdeka (seberang kantor Kostrad), kalau saja bukan karena kelihaiannya memanfaatkan sarana teknologi tersebut.

Setelah itu berkelanjutan segala peristilahan negatif diciptakannya secara serentak, dari kata G30S/PKI, Kopkamtib, Museum Lubang Buaya, Organisasi Tanpa Bentuk (OTB) dan lain-lain. Bahkan kata-kata Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), suatu istilah bikinan Belanda untuk menuding Gerakan Bung Karno, dengan tanpa disadari telah diambil-alih oleh pemerintahan Soeharto untuk membungkam segala aktivitas progresif-revolusioner, terutama di kalangan angkatan muda kita.

Segala akronim dan peristilahan yang dibuat-buat itu tentulah bukan tercetus dari orang-orang bodoh yang sama sekali tak punya harapan akan masadepan, namun ia telah keluar dari pikiran dan gagasan jitu (dan jahat) dari seorang ahli strategi, demi suatu agitasi dan propaganda yang sudah dirancang sedemikian canggihnya.

Bahasa Politik Bung Karno

Patut diperhatikan bahwa agitasi propaganda untuk suatu gerakan revolusioner memanglah perlu dan penting. Namun bukan untuk kepentingan sebaliknya (gerakan kontra revolusi). Dengan demikian Bung Karno lebih sepakat dengan ungkapan, banyak bicara dan banyak bekerja daripada sedikit bicara banyak bekerja, karena setiap pekerjaan mulia dalam menegakkan kebenaran, dibutuhkan bahasa pengungkapan untuk disampaikan ke publik, bahkan sebagai perlawanan dan penggugah kesadaran akan adanya ketidakadilan.

Dengan kepiawaiannya berpidato, serta kecermatan dalam merangkai kata-kata, Bung Karno telah sanggup menggugah kesadaran jutaan rakyatnya, yang membuat mereka tersentak dan bangkit dari keadaan nasibnya sebagai bangsa-bangsa budak dan kuli selama berabad-abad.

Kita masih ingat ketika Bung Karno menawarkan istilah Gestok dalam sidang kabinet di bulan Oktober 1965. Secara kesejarahan dapatlah dimengerti bahwa peristiwa itu sudah melewati jam 24.00, yang berarti sudah memasuki tanggal 1 Oktober 1965. Selain itu secara kebahasaan tidaklah kalah pentingnya, karena susunan kata yang sering dipakai dalam bahasa Indonesia: kata yang diterangkan mendahului kata yang menerangkan. Karenanya bila anakronisme itu hendak dibiarkan, mestinya diucapkan Tigapuluh September dan bukan September Tigapuluh.

Hal ini dapat disejajarkan dengan istilah-istilah lain seperti komunis-kapitalis, kiri-kanan, GPK, OTB, subversif, sosialis-marxis, HAM, kebebasan dan demokratisasi, yang kesemuanya itu harus sungguh-sungguh diperhatikan dalam konteks apa penggunaan istilah tersebut, dan dari mulut siapa kata-kata itu keluar. Karena itu semakin jelaslah permainan bahasa ini, maka berhati-hatilah bila ada seorang jenderal fasis berkata komunisme-marxisme-leninisme, yang semuanya itu akan berbeda maknanya ketimbang apa-apa yang diucapkan dari mulut Bung Karno sendiri.

Soalnya ungkapan Bung Karno tentang komunisme lebih pantas disejajarkan dengan seorang Guru Besar yang sedang mengajar sosiologi atau filsafat sosial tentang komunisme. Tapi ungkapan Soeharto biarpun memakai kata-kata yang sama secara sewenang-wenang dinilainya sebagai gerakan makar dan tindak subversif.

Sebagai contoh sederhana dari permainan kata ini, dalam bahasa Jawa terdapat istilah padu yang berarti ribut atau bertengkar-mulut. Sedangkan dalam bahasa Indonesia justru bermakna positif, yakni bersatu-padu atau amat rukun.

Dari berbagai uraian dan contoh-contoh di atas, maka segala pertengkaran dan peperangan manusia selama berabad-abad, sebenarnya bersumber di wilayah permainan bahasa dan kata-kata yang tak pernah punya arti baku maupun kaku. Karenanya juga berpangkal pada teori-teori filsafat dan politik, tanpa disadari bahwa di sana ada permainan kata yang berperan kuat dan patut diperhatikan.

Kita masih ingat pula akronim Jas Merah yang dicetuskan langsung oleh Bung Karno, yang berarti jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Sejak pagi-dini dengan kecermatannya berbahasa, ia begitu peka dan tanggap dalam menciptakan suatu peristilahan, yang membawa kita pada bayangan pasukan kemeja merah Garibaldi, seorang pemimpin revolusi liberal di Italia pada tahun 1830-an.

Kasus Pramoedya Ananta Toer

Kini sampailah saya untuk menceritakan sebuah roman menarik yang pernah ditulis oleh seorang bangsa Cina, The Romance of The Three Kingdoms sejak tahun 1930-an Masehi. Roman ini berkisah tentang seorang pejabat tinggi dalam suatu kerajaan, telah memerintahkan bawahannya agar membunuh semua anggota keluarga dari rakyatnya, gara-gara ada seorang dari mereka yang dicurigainya. Sewaktu ditanya, kenapa dia begitu tega dan kejam melakukan tindakan brutal itu, maka dijawablah dengan tegas:

Akan saya khianati seluruh dunia sebelum ada orang berkesempatan mengkhianati saya.

Roman ini pernah dilarang di negerinya sendiri pada jaman Dinasti Ching, karena dianggap menghina pejabat-pejabat kekaisaran. Maka segeralah diperintahkan agar diberangus, dibakar, bahkan diupayakan agar habis musnah dari muka bumi ini.

Saat itu, lagi-lagi sang penulisnya melalui teknik propaganda dihasut-hasut dan disebarluaskan sebagai pelaku makar yang harus dibungkam dan disingkirkan. Kepada rakyat setempat, nilai kebudayaan didakwakan sebagai barang rongsokan yang tidak ada harganya. Dengan begitu maka peradaban yang berjalan cumalah produk belaka dari bagaimana cara penguasa memandangnya. Segala tindak-tanduk masyarakat menjadi terbelenggu oleh kebijakan-kebijakan yang dipaksakan, hingga struktur berpikir dan pola berbahasa telah diputar-balikkan sedemikian rupa, bahkan untuk menunjukkan siapa kawan dan siapa lawan sekalipun.

Di negeri Indonesia, praktis setelah tahun 1965, teknik propaganda yang sudah usang itu telah dipermaikan kembali oleh seorang jenderal fasis bekas tentara KNIL juga bekas tentara didikan fasisme Jepang sejak perang dunia kedua. Jenderal bernama Soeharto itu cukup lihai dan cekatan dalam memperagakan teknik ini, hingga bersama kroni-kroninya telah mampu bekerjasama dalam permainan sprachspiel tentang utak-atik bahasa dan kata-kata tersebut.

Bandingkan dengan Hitler bersama rekan seperjuangannya Dr. Joseph Goebbles, yang cukup jenius merancang teka-teki generasi masadepan, hingga berkesimpulan betapa pentingnya masalah informasi dan dunia pendidikan. Seketika itu dibentuklah Kementerian Propaganda yang tugasnya semata-mata menyeragamkan segala informasi apapun kepada rakyat Jerman. Seluruh dunia pers, penerbitan, radio dan film, harus patuh dan taat kepada pengarahan tentang apa dan bagaimana yang mesti disiarkan. Bahkan seluruh pendidikan bagi anak-anak, pemuda-pemudi, kemudian disatu-paketkan dalam suatu organisasi pemerintah yang praktis merupakan organisasi kader politik bergaya militer.

Semua lembaga serta organisasi apapun yang berjalan kemudian dikontrol oleh aparat-aparat pemerintah yang identik dengan kepentingan satu partai dominan. Segala gaya, mentalitas dan cara-cara kerja kemasyarakatan menjadi militeristik, karena sistem yang berlaku hanyalah komando dari atas dan ketaatan mutlak dari bawah.

Di bidang kebudayaan pun segala pemberangusan dan pembunuhan bagi hak hidup (secara kias maupun harfiah) yang dialami para seniman Lekra dan LKN, sungguh tidak kepalang tanggung. Pembunuhan dan penculikan terhadap seniman nasional Trubus, Japoq Lampong, pengarang lagu Genjer-genjer, belum lagi seniman-seniman daerah yang belum masuk dalam hitungan mereka. Semuanya itu adalah bagian dari kelihaian dan kelicikan Soeharto dan kroni-kroninya, dalam memuluskan jalannya sprachspiel dan permainan bahasa gaya Orde Baru berikut dengan para seniman dan budayawan-budayawan pendukungnya.
Apa yang dialami oleh Pramoedya Ananta Toer satu-satunya sastrawan Indonesia yang beberapa kali masuk nominasi nobel sastra cukuplah dinyatakan mengenai perlakuan atas dirinya selama masa puluhan tahun ini. Salah satu rumus yang dipakainya untuk menggambarkan pemerintahan Orde Baru sebagai berikut:

Kalau mereka mengatakan diamankan, itu berarti ditangkap atau dianiaya. Kalau mereka mengucap kata X, itu artinya minus-X. Setiap apa-apa yang mereka katakan, selalu saja yang berlaku adalah kebalikannya. Apa boleh buat saya nyatakan hal ini, karena memang pengalaman yang telah mengajarkan saya.

Konstitusional Versi Soeharto dan Muawiyah

Perkataan konstitusional yang sering digembar-gemborkan Soeharto bersama kroni-kroninya telah dimanipulasi bahkan dipraktekkan sebagai kebalikannya. Segala trik-trik dan strategi yang dilancarkan untuk kepentingan menggulingkan Presiden Soekarno, tidak lain merupakan kudeta merangkak yang telah mendirikan bulu-roma kita.

Kesamaan pengertian konstitusional ini sangatlah identik dengan Herodes atau Ponsius Pilatus bersama pengikut-pengikutnya, juga erat kaitannya dengan peristiwa arbitrase dalam penggulingan Ali bin Abi Thalib oleh seorang ahli strategi bernama Muawiyah.

Mengenai penggulingan Ali itu, Bung Karno sendiri pernah mengutip pernyataan Cokroaminoto dalam Suluh Indonesia Muda pada tahun 1926:

Setelah Muawiyah mengutamakan azas kekuasaan kebendaan dalam aturan khalifah sesudah para khalifah menjadi raja maka padamlah tabiat Islam yang sebenarnya. Muawiyah telah bertanggungjawab atas merosotnya tabiat Islam yang nyata-nyata bersifat sosialistis yang baik.

Konspirasi Muawiyah bersama kroni-kroninya dalam memanfaatkan peristiwa pembunuhan Khalifah Usman, tiada lain guna dijadikan alat pemancing bagi kebencian rakyat awam. Saat itu, dengan memerintahkan seorang kaki-tangannya, segeralah dipertontonkan pakaian Usman yang berlumuran darah di depan mesjid Damaskus. Selama beberapa waktu ia berpura-pura sedih atas kematian Usman, sebagai ungkapan simpati dan duka-cita terhadapnya. Padahal ketika berlangsungnya peristiwa tragis itu, Usman sempat meminta bantuan kepada Muawiyah selaku Gubernur Damaskus namun kemudian ia sama sekali tidak menghiraukan atasannya.
Strategi Muawiyah dalam melancarkan kudeta merangkak itu kelak dijadikan alat propaganda untuk menuduh Ali, bahkan menyebarkannya sebagai pelaku atas pembunuhan Usman itu. Seketika itu dikerahkanlah tentara-tentara Muawiyah untuk menggempur kedudukan Ali, meski kemudian dapat dipatahkan oleh pengikut-pengikut Ali di sekitar wilayah Siffin.

Seorang kaki-tangan Muawiyah selanjutnya mengusulkan perjanjian damai, sambil mengangkat dan memamerkan Al-Quran sebagai tameng bagi kepatuhan pada agama. Saat itu orang-orang saleh di pihak Ali telah terkibuli dan terkecoh oleh siasat licik itu, hingga salah seorang berujar disertai ketakutan: Ya Ali, kami tidak sanggup memerangi Al-Quran.

Orang-orang saleh itu terus-menerus mendesak Ali agar ia menuruti perjanjian damai itu, hingga tercapailah suatu kesepakatan untuk menggelar arbitrase. Dalam arbitrase itu kemudian dilancarkan tipu muslihat dan siasat licik dengan memanipulasi teks-teks agama sebagai alat legitimasi bagi tampilnya kekuasaan baru. Seketika itu dipamerkan simbol-simbol agama untuk menyudutkan posisi Ali sambil meneriakkan yel-yel:

Tiada hukum selain hukum Allah tiada hukum selain hukum Allah!

Terus-menerus yel-yel itu diteriakkan, meskipun bagi Ali hukum Allah itu bukanlah sesuatu yang mandek dan statis belaka. Ia adalah hukum yang sesuai dengan semangat jaman dan tempat di mana dan kapan manusia dapat hidup. Sedangkan orang-orang yang mengaburkan imannya dengan kejahatan, bukanlah termasuk dari apa-apa yang disebut hukum Allah.

Kamilah pendukung-pendukung Usman kamilah pendukung-pendukung Usman.!

Ali semakin paham apa-apa yang sebenarnya terkandung di balik siasat licik itu. Muawiyah bersama kroni-kroninya cukup lihai dalam merangkul rakyat awam, dengan memancing ketakutan dan menebar teror dan pembodohan. Mereka cukup mahir dalam mempermainkan kata-kata kebenaran untuk tujuan yang tidak benar, demikian penjelasan Ali kepada para pengikutnya, seandainya saya punya niat-niat jahat, saya bisa lebih mahir daripada Muawiyah.

Terlepas dari persoalan, siapakah yang kemudian berdiri di balik pembunuhan Ali pada tahun 661 Masehi, namun yang sudah jelas menjadi kepastian bahwa Muawiyah benar-benar telah mengambil keuntungan dengan mengabaikan peristiwa tragis itu, malahan menampilkan dirinya selaku pahlawan dan pemimpin tunggal khalifah Orde Baru, sebagai pengganti khalifah-khalifah terdahulu. Hal ini pun pernah ia lakukan saat kematian Usman, yang kemudian dengan bangga mengulanginya saat peristiwa tragis yang menimpa diri Ali.

Sebelum wafatnya, dengan ramah dan santun Ali berpesan kepada para pengikutnya: Jangan terlampau marah dan dendam tak usah membunuh mereka sesudah saya mati biarkan saja mereka hidup toh tidak sama hidup orang yang mencari kebenaran walaupun belum dicapainya, daripada orang yang mencari-cari kesalahan, walaupun telah berhasil diperolehnya.

Itulah klimaks dari pendidikan religiositas kepada suatu bangsa, seperti yang diajarkan Bung Karno kepada rakyat Indonesia juga, bahwa ada suatu Kekuasaan Absolut yang mengatur segalanya, apakah kita perlu mengadakan perlawanan secara tergesa-gesa oleh adanya ketidakadilan yang menimpa diri kita. Karena segala hal dalam hidup ini perlu pembelajaran dan penelitian yang seksama untuk dapat menemukan kebenaran dengan sebaik-baiknya. Dari sini pun mengandung logika dan kebenaran sejarah: seandainya Bung Karno segera mengadakan perlawanan kepada pihak-pihak yang akan menggulingkan dirinya sebelum tuntasnya penyelidikan tentang G30S lantas siapa yang bisa memastikan bahwa Bung Karno akan sebesar dan semulia seperti sekarang ini. Siapa yang bisa memastikan bahwa ajaran-ajarannya akan terselamatkan, dan pemikiran-pemikirannya semakin diakui sebagai kebenaran oleh rakyat Indonesia dan seluruh dunia berbudaya dan berperadaban.

Dan dari peristiwa dan perjalanan hidup Ali bin Abi Thalib, maka meluncurlah konsep politik sejati yang kita kenal sekarang: Bahwa kebenaran yang tidak terrumuskan dan tidak terorganisir dengan baik dan rapi, pada akhirnya akan terkalahkan oleh kejahatan yang mampu mengorganisir dirinya dengan baik.

Konsep politik itu harus menjadi pelajaran penting, khususnya bagi angkatan muda Indonesia, agar hendaknya kita tahu dan paham apa yang harus kita benahi dalam perjuangan kita, untuk mencapai kebangkitan dan pencerahan Indonesia dengan sebaik-baiknya.

***

(Disunting kembali oleh Indah Noviarista, dan tulisan ini pernah dimuat dalam buku Liber Amicorum Bung Karno yang diterbitkan oleh Hasta Mitra, Jakarta

Oleh Hafis Azhari http://www.geocities.com/k2psi_lsm/Art2.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar