Dari Muba Untuk Muba

Blog ini bisa menjadi jendela bagi Kita, Jendela seputar kiprah, kegiatan, ide pikiran , gagasan saya dalam menjalankan tugas sebagai pemimpin daerah Kabupaten Muba. Saya Ingin Masyarakat lebih tahu sejauh mana saya menjalankan amanah ini, dalam penyajiannya Blog ini harus menyajikan info WAJAH YANG TANPA TOPENG. Semoga dapat memberi manfaat. - Salam !

Jumat, 16 Maret 2012

Pemakmuran Desa Jadi Agenda Utama PDI Perjuangan

PDI Perjuangan bertekad memperjuangkan kesejahteran rakyat, khusus rakyat di perdesaan. Selama ini rakyat di desa hanya menjadi obyek pembangunan, bahkan menjadi penonton pembangunan. Menurut Ganjar Pranowo, sudah saatnya model pembangunan diubah dengan menempatkan desa sebagai basis utama pembangunan bangsa dengan membuka ruang partisipasi publik seluas-luasnya. Sehingga rakyat di desa tidak hanya sebagai obyek pembangunan, tetapi sebagai subyek utama pelaku pembangunan.
  
Untuk itu, kata Ganjar, PDI Perjuangan harus menjadi agen utama dalam memperjuangkan kemakmuran di desa karena kaum Marhaen kebanyakan ada di perdesaan. “Prinsip kita sebenarnya soal pemberdayaan pemakmuran desa harus menjadi agenda utamanya PDI Perjuangan. Kemakmuran di tingkat desa itu sebenarnya kan masalah Marhaen. Marhaen itu adanya di tingkat desa,” ujar Anggota Komisi II DPR Fraksi PDI Perjuangan ini.
 
Pria kelahiran Karanganyar, Jawa Tengah, tersebut menegaskan PDI Perjuangan tengah memperjuangkan UU tentang Pemerintahan Desa yang diinisiasi oleh Pemerintah. Partai, sambung pria lulusan Fakultas Hukum UGM Yogjakarta ini, mesti mempersiapkan betul konsepsi Pemerintah Desa dengan pikiran-pikiran ideologi partai.
 
Berikut ini wawancara redaksi dengan Ganjar Pranowo mengenai konsepsi Pemerintahan Desa yang tengah dibuat oleh partai:
 
PDI Perjuangan tengah mempersiapkan konsep mengenai pemerintahan desa. Dalam kerangka otonomi daerah, pemerintahan desa seperti apa yang hendak dirancang oleh partai?
Sebenarnya kita bicara tentang pemerintahan desa itu tidak boleh lepas dari Pemerintahan Daerah. Sehingga level yang lebih besar kita menyepakati dulu perubahan atau amandemen pasal 18 Undang-Undang Dasar, yang kemudian memberikan turunan banyak sekali. Perubahan pasal 18 Undang–Undang Dasar inilah yang saya kira bagaimana partai menyikapi model otonomi daerah yang kita mau. Kalau saya sebenarnya berpikirnya simple, PDI Perjuangan itu berdasarkan Pancasila 1 Juni. Kita mengakui pluralisme, multikulturalisme, Bhineka Tunggal Ika. Kita akui itu. Maka karakter dari bangsa Indonesia ini, karakter dari warga kita ini, adalah karakter yang berbeda tapi satu. Perbedaan inilah yang seharusnya kita pegang, mesti kita kelola, kita manage. Sehingga dalam kondisi masyarakat yang divided society ini, masyarakat punya potensi untuk berbeda, untuk terpecah–pecah, tetapi tetap menjadi satu, itulah mimpinya Soekarno.
 
Jika dikaitkan dengan itu, pilihan politik kita setelah kita otonomi daerah yang sebenarnya, setelah keluarnya Undang–Undang No. 22 tahun 1999, pada saat itu kita sudah layak untuk mengevaluasi karena Undang–Undang No. 22 sudah direvisi oleh Undang–Undang No. 32 dan ini sudah berlangsung selama 12 tahun (1999-2011). 12 tahun ini selayaknya kita sudah mengevaluasi otonomi daerah. Kalau kita mengevaluasi otonomi daerah, mari kita pikirkan apakah kita mau otonomi daerah yang seperti ini? Yang semuanya seragam? Rasa-rasanya kok tidak. Maka kalau kita turunkan dari ideologi kita mulai dari Pancasila, Undang–Undang Dasar yang sudah diamandemen dan kita sepakat dengan Bhineka Tunggal Ika, nampak-nampaknya pengelolaan otonomi daerah kita itu mestinya model a simetrik decentralization, a simetrik otonomy. Kalau kita sudah sepakat a simetrik, berbeda pengelolaannya,  maka ini harus turun ke tingkat desa. Yang belum selesai di tingkat kita adalah apakah desa ini mau dijadikan sebagai teritori pemerintahan atau teritori sosial atau budaya, itu belum ada pilihan.
 
Kalau saya diminta untuk mensugest itu, saya lebih cenderung mengusulkan sebagai teritori sosial budaya, bukan teritori pemerintahan. Kalau teritori pemerintahan itu kembali seperti konsepsi Rudini (Menteri Dalam Negeri zaman Orde Baru-red) dulu, desa itu menjadi sebagai teritori atau Daerah Tingkat III. Nah kalau itu sudah turun, maka dalam konteks revisi Undang–Undang No. 32 yang akan ada Undang–Undang Pemerintahan Daerah, Undang–Undang tentang Pilkada, dan Undang–Undang tentang Desa, maka konteks desa harus merujuk  ke sana. Pikiran saya sebenarnya, kalau kita sepakat dengan a simetrik decentralization maka turunan sampai desa pun a simetrik karena desa ini pernah diseragamkan namanya semua desa. Padahal ada kelurahan, ada gumpa, ada nagari, ada kampung, macam–macam lah, itu kita pelihara agar akar budaya kita tidak hilang. Saya rasa itulah yang harus dijaga. Cuma kesepakatan ini harus betul–betul firm (tegas; jelas) agar desa juga menjadi ujung tombak pembangunan, pemberdayaan masyarakat di tingkat paling bawah itu. Problem berikutnya yaitu adalah bagaimana mereka mensejahterakan dirinya? Hari ini ada Kades, ada Badan Pemusyawaratan Desa (BPD). Mereka berembuk kemudian ada Peraturan Desa (Perdes), keluar, tapi sourcenya darimana? Sangat terbatas. Nah yang belum selesai adalah politik penganggaran sampai ke desa. Penganggaran itu sekarang spread, tersebar banyak sekali. Penyebaran sebanyak ini perlu kita konsolidasi. Sekarang hampir setiap kementrian itu selalu menurunkan itu sampai desa, sendirian. Kalau mereka turun sediri-sendiri lalu desa merasa loh kok saya dapat ini dan itu, yang saya tidak pernah mengusulkan dan saya tidak membutuhkan soal itu. Kalau sekarang kita berbicara soal ini, hal ini yang perlu kita perbaiki.
Revisi Undang–Undang No. 32 tentang Pemerintah Daerah harus sepaket dengan revisi Undang–Undang No. 33 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah. Nanti turunnya ke desa, dalam pikiran saya ada pilihan politik yang harus kita putuskan. Kalau dia mau menjadi teritori pemerintahan atau daerah otonomi tingkat III, maka kita harus menambah birokrasinya. Tapi kalau pilihan itu sulit, ini harus menjadi sebuah konsepsi adat atau sosial. Kalau itu menjadi konsepsi adat atau sosial, maka menurut saya, di tingkat APBD harus ada nomenklatur tentang desa. Gambarannya begini Kabupaten A, misalkan. Kabupaten A ini akan punya sebutkanlah, dia punya 200 desa, maka harus ada momenklatur di situ Desa 1 sampai Desa 200. Nah Desa 1 ini silahkan masyarakatnya bermusyawarah untuk menentukan pada anggaran ini kamu buat apa? Nanti Desa 1 ini akan diberikan alokasi anggaran dari tingkat II, otonominya tetap ikut pada daerah tingkat II. Kalau itu otonominya langsung ke desa, katakanlah duitnya langsung masuk ke rekening desa dan birokrasinya tidak dibenahi, itu hanya akan membuat para Kepala Desa dan Perangkat Desa masuk penjara. Soalnya birokrasi rumit dan butuh pelatihan. Nah, kalau tidak langsung ke desa, mesti dialokasikan ke tingkat Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Kalau itu sudah bisa, maka seluruh sumbangan atau alokasi dari pusat yang langsung masuk ke desa itu mestinya masuk ke dalam satu gugus saja. Sehingga desa itu mempunyai kekuasaan untuk mengelola itu dengan rakyatnya. Ini gambaran besarnya.
 
Kita ketahui bersama bahwa PDI Perjuangan mempunyai kekuasaan di daerah-daerah. Apakah partai telah mempunyai role model Pemerintahan Desa, katakanlah di sebuah daerah?
Sebelum muncul bantuan desa kemudian menjadi Alokasi Dana Desa (ADD), Daerah pemilihan saya sendiri dan menjadi contoh juga yaitu Kabupaten Purbalingga. Kabupaten Purbalingga sebelum ada ADD itu dia membuat dana desa namanya. Dia mengalokasikan X rupiah. Pada waktu itu, dimulainya tidak banyak hanya 40 juta, silahkan dibuat tapi lebih banyak penggunaannya untuk infrastruktur. Nah, itu akhirnya di generalisasi sekarang menjadi dana ADD. Sayangnya dari ADD itu diberikan kemudian dia mengelola, ada yang berhasil dan ada yang tidak tentunya. Pola ini sebenarnya sudah menjadi embrio dan ini pernah diangkat Majalah Tempo, dari 10 Bupati ada 7 atau 8 dari kita itu, salah satunya dari Kabupaten Purbalingga. Sekarang ini sudah menular ke mana–mana. Saya kira sudah banyak daerah juga sudah punya role model soal ini. Kalau kita mau adop itu ke dalam suatu undang–undang desa, baik juga untuk dilakukan.
 
Pikiran teman–teman pemerhati dan pakar yang sudah berkomunikasi dengan saya menunjukan, Mas Ganjar hati–hati mengatur tentang desa. Jangan sampai menjadi maunya mengatur tapi malah merusak. Kita punya pengalaman soal itu di Undang–Undang No. 5 tahun 79. Maka pertanyaan anda dimana yang ada itu dihubungkan dengan konsepsi a simetrik itu, nanti ketemunya seperti apa? Saya kira partai hari ini mesti mensimulasikan itu. Hal ini masih konsepsi karena Rancangan Undang-Undang Desa itu sendiri sekarang inikan diusulkan dan diinisiasi oleh pemerintah. Partai sekarang mengisi Daftar Isian Masalah. Daftar Isian Masalah ini sebaiknya sekarang kita datang dulu ke kepala daerah–kepala daerah kita, maka program Cabang Pelopor ini saya kira mesti kita nunut. Kita numpang di dalamnya untuk melihat kondisi empirik yang terjadi di sana.
 
Prinsip kita sebenarnya soal pemberdayaan pemakmuran desa harus menjadi agenda utamanya PDI Perjuangan. Kemakmuran di tingkat desa itu sebenarnya kan masalah Marhaen. Marhaen itu adanya di tingkat desa, ada pertanian, ada kelautan, ada buruh. Kalau ini kita dorong semuanya kita bisa akomodasi dengan konteks itu. Koneksitas gagasan ini kalau bisa kita masukan dikonsepsi Tiga Pilar. Dengan konteks itu, maka Tiga Pilar Partai akan bekerja. Cuma bagaimana kita mengerti persis masalah kebutuhan masyarakat desa. Karena pengalamannya desa itu mintanya kambing keluarnya sapi, mintanya jalan keluarnya jembatan, mintanya puskesmas keluarnya sekolahan, selalu missmatch (kekurangcocokan-red). Nah missmatch ini harus dihentikan dengan regulasi. Inilah yang menurut saya perlu kita pikirkan di desa. Dulu DPR yang kemarin, saya ikut di dalamnya Undang–Undang Pembangunan Perdesaan, itu mengalokasikan langsung 20% ke desa.  Cuma alokasi. Sekarang ini beberapa masukan sudah mulai turun tidak 20% tetapi 10 %. Nah 10% ini seperti apa? 10% ini blockgrant, 10% ini dana alokasi yang kita cantumkan dalam mata anggaran APBD, atau kemudian bagaimana? Itu yang belum ada. Maka sebenarnya partai mesti mempersiapkan betul konsepsi Pemerintah Desa untuk kita respon dengan pikiran-pikiran ideologis kita.
 
Beberapa kepala desa dan perangkat desa menuntut diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Bagaimana posisi partai dalam merespon hal ini?
Kalau kita melihat, sebenarnya kalau sekarang yang dituntut itu tiga hal. Yang pertama para kepala desa minta jabatannya diperpanjang. Kedua, perangkat desanya ingin menjadi PNS. Dan yang ketiga, berapa anggaran kami. Sebenarnya tiga inilah yang menurut saya mesti disimulasikan. Saya kira kalau kita mau melihat, kita tidak terlalu risau dengan periode demokratisasi yang ada di desa. Pertanyaannya yang penting masyarakat desanya ditanya, apakah kemudian ini yang betul–betul menjadi model demokrasi yang ditunggu di desa? Kalau ini menjadi kepentingan pribadinya kan tidak bisa ingin memperpanjang masa jabatan. Tapi kalau kemudian PDI Perjuangan nanti mampu untuk berkomunikasi dengan rakyat, apa iya sih 5 tahun, sementara konfliknya masih cukup panjang? Saya kira ini bukan suatu persoalan mau 8 tahun atau 10 tahun, hanya saja kemudian bagaimana proses demokratisasi dan kesempatan orang berpartisipasi untuk menjadi Kepala Desa itu tidak terganggu. Dan hal itu harus mendorong pada proses percepatan kesejahteraan di desa, itu satu.
 
Yang kedua ada problem soal Perangkat Desa ingin jadi PNS, saya kira kalau Republik ini hari ini punya anggaran besar tidak soal, tapi menjadi soal ketika tidak ada. Saya menyarankan kalau tidak jadi PNS ada satu pendekatan kesejahteraan. Ada dua yang penting buat mereka. Satu, Upah Minimun Regional (UMR). Dua, soal tunjangan yang menyangkut dengan keluarganya. Tunjangan keluarganya juga dibagi dua, yang satu berkaitan dengan pendidikan dan satu lagi berkaitan dengan kesehatan. Maka saya membayangkan jika kemudian ada satu pendekatan kesejahteraan model minimum atau UMR, maka harus diikuti dengan asuransi dan saya membayangkan asuransi tentang pendidikan dan kesehatan untuk keluarganya. Ini di combine jadi satu, jika negara tidak mampu membiayai mereka menjadi PNS.
 
Yang ke tiga soal budget itu. Saya kira desa memang layak untuk kita perjuangkan mempunyai budget sendiri. Soal mekanisme untuk desanya seperti apa? Itu juga mesti kita pikirkan, maksud saya agar Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrembangdes) itu betul–betul bisa menyerap, mengumpulkan, mengagregasi seluruh kekuatan rakyat. Dan kepentingan itu menjadi sebuah publik policy, terus ini terjaga sampai tingkat APBD. Nah, kalau ini ketemu beres ini semua. Dan saya kira PDI Perjuangan harus mempelopori ini karena inilah yang harus kita perjuangkan.

Copy from http://www.pdiperjuangan.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=392:pemakmuran-desa-menjadi-agenda-utama-pdi-perjuangan&catid=42:wawancara&Itemid=127

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar