Saya sebagai generasi muda, juga berjuta generasi muda lainnya, secara perlahan meninggalkan desa. Kota begitu mempesona untuk menarik saya menjadi manusia kota. Menjadi Indonesia bagi saya mau tak mau adalah menjadi manusia kota, bukan desa. Saya tak mungkin mengimajinasikan Indonesia sebagai menjadi orang desa. Desa telah kalah dan dikalahkan setiap hari.
Imajinasi tentang Indonesia memang pernah tak jauh berbeda dengan imajinasi desa yang selama ini terbentuk. Indah bak zamrud khatulistiwa, penduduknya ramah-tamah, tanahnya subur, dan alamnya kaya raya. Sejarah Indonesia tak pernah lepas dari perkembangan desa dari masa ke masa. Hatta (1965) dalam bukunya yang masyhur, Demokrasi Kita, mengisahkan bahwa dahulu kala desa memiliki otoritas sendiri untuk menentukan sikap dalam suatu kerajaan. Jika desa menilai bahwa dirinya tidak mendapatkan hak sebagaimana yang diinginkan, desa tersebut tidak lagi akan membayar upeti lalu pindah ke kerajaan lain yang dinilai mampu memberikan perlindungan dan keamanan bagi desa.
Apabila warga desa tidak sepakat atau merasa dirugikan dengan kebijakan yang dilakukan oleh kerajaan, warga akan melakukan protes dengan berdiri di alun-alun hingga raja memanggilnya untuk menghadap, menyampaikan keluhan, dan mendapatkan solusi. Desa mendapatkan posisi yang kuat dan terhormat kala itu.
Kontras dengan sistem pemerintahan modern saat ini. Otoritas desa dikebiri. Desa menjelma menjadi kantong-kantong sumber kekayaan negara dan komoditas yang diperas. Desa dituntut banyak menghasilkan komoditas-komoditas vital khususnya pertanian namun miskin pembangunan yang didapat.
Imajinasi desa masih berkutat pada kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, infrastruktur buruk, dan tradisional alias kuno. Kontras dengan kota yang selama ini dibangun. Kota menjadi terang, akses lancar, dijejali gedung-gedung bertingkat, akses komunikasi mudah, dan dipenuhi oleh orang-orang yang pandai.
Konsep pembangunan yang selama ini diterapkan mirip dengan analogi mengisi air ke dalam gelas. Gelas terus-menerus diisi air hingga akhirnya luber di sekeliling gelas. Luberan di sekitar gelas itulah desa. Desa hanya mendapatkan ampas pembangunan di kota. Sedangkan kota semakin benderang dan menarik.
Lalu apa yang terjadi? Kota menjadi magnet yang menarik mimpi banyak manusia termasuk pemuda dan mahasiswa. Kota menjadi tumpuan harapan untuk berjuta manusia yang mendambakan kesenangan dan kemakmuran. Kota terus berkembang sementara desa semakin terdesak oleh banjir produk-produk industrialisasi dari kota.
Urbanisme!
Urbanisasi besar-besaran yang terjadi mengakibatkan desa mengalami kekosongan intelektual penggerak pembangunan. Desa hanya diisi oleh manusia-manusia yang hendak menikmati masa pensiunnya. Oleh sebab itu, pembangunan di desa bisa dikatakan mandek! Sebab, dominasi penduduk tua hanya melestarikan tatanan dan cara-cara yang selama ini lazim digunakan atau dilaksanakan. Dengan kata lain, desa menjadi miskin inovasi. Parahnya lagi, desa menjadi miskin inisiatif!
Daya tarik kota yang memicu besarnya urbanisasi juga didukung oleh paradigma pendidikan yang selama ini dibentuk. Pendidikan menanamkan nilai-nilai tentang cara menjadi profesional muda. Hidup necis, tinggal di perkotaan, dikelilingi oleh fasilitas yang memadai, dan bergaul dengan orang-orang pandai. Manusia kota!
Lihat saja, bagaimana sekolah-sekolah bermutu serta perguruan tinggi bonafide hanya ada di kota. Hampir tidak ada sekolah dan perguruan tinggi bermutu yang didirikan berdekatan dengan desa. Bahkan bisa dikatakan nihil! Padahal, sebagian besar siswa dan mahasiswa mereka berasal dari desa. Sungguh ironis!
Demikian pula yang terjadi pada Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang tengah gencar dipromosikan oleh pemerintah. SMK mendidik para siswa-siswinya yang masih sangat belia tentang tata cara menjadi “pekerja yang terdidik” di kota. Mereka dilimpahi begitu banyak teknologi agar mereka mahir mengoperasikannya. Setelah lulus, mereka menjadi pekerja pada industri-industri manufaktur di kota. Pada akhirnya, mereka lalu lupa dari mana mereka berasal sebab di kota hidup mereka lebih menjanjikan baik mimpi maupun pencapaian.
Lantas, tak berhenti pada tataran SMK. Universitas memiliki peran signifikan dalam membentuk karakter para sarjananya. Di kampus, yang pada dasarnya di kota, para mahasiswa dimanjakan dengan begitu banyak fasilitas. Katakanlah akses jalan yang mudah, tersedia banyak mall, sarana trasnportasi bukanlah hal yang sulit, free hotspot area mudah ditemui, dan segudang kenikmatan lainnya.
Paradoks dengan yang terjadi pada desa. Desa tetap gelap, becek, sunyi, dingin, dan dihuni oleh manusia-manusia yang kolot dan tradisional. Desa semakin “gelap”. Semakin terisolasi baik secara fisik maupun secara pemikiran oleh manusia-manusia ber-title. Title yang tersemat dalam nama mereka menjadi simbol yang diakui secara bersama, merekalah intelektual muda. Merekalah para aktor pembangun kota. Sebab, pemikiran mereka telah diisolasi dari desa. Begitu juga sebaliknya, desa diisolasi dari imajinasi mereka tentang khayalan pembangunan yang mendesak untuk dilakukan.
Terobosan
Melihat kondisi-kondisi seperti ini, perlu adanya sebuah terobosan untuk membenahinya. Membiarkan desa semakin merana adalah dosa terbesar yang mesti ditanggung tak hanya oleh penguasa melainkan juga para akademisi dan para sarjana. Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan revitalisasi pembangunan desa.
Mengubah orientasi pendidikan ke arah pembangunan desa penting untuk dilakukan. Menyalurkan lulusan-lulusan SMK kembali ke tempat mereka berasal, di desa, menjadi pasokan amunisi aktor andal pembangunan di desa. Mereka dituntut untuk mampu mengelola segala kekayaan desa baik kekayaan alam maupun kekayaan fisik lainnya. Keterampilan-keterampilan yang diajarkan di sekolah bukan lagi berkutat pada gadget dan mesin padat teknologi agar mampu mengoperasikannya melainkan berorientasi pada pengelolaan kekayaan desa.
Secara lebih khusus, pembekalan ketrampilan siswa tersebut disesuaikan dengan kebutuhan lokal tiap daerah. Jika suatu daerah menghasilkan padi sebagai komoditas utama, maka yang dilakukan adalah pemahaman peserta didik tentang tata cara pengelolaan padi secara modern dimulai dari praproduksi hingga pascaproduksi. SMK tidak lagi mendidik menjadi tenaga kerja di bidang otomotif karena desa tidak memerlukannya. Jika itu terus berlangsung, kota akan tetap menjadi primadona untuk dituju.
Universitas juga memiliki andil dalam upaya revitalisasi pembangunan desa. Pada tingkat ini perlu kembali digalakkannya program Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang sempat terhapus dari beberapa universitas. KKN perlu diperluas menjadi alat pembekalan ketrampilan-ketrampilan aplikatif untuk warga desa. Hal ini dimaksudkan agar warga desa mampu mengolah hasil dan kekayaan desa yang ada.
Jika suatu desa memiliki sumber ikan yang melimpah, ajarkan kepada mereka tatacara mengolah ikan yang memiliki nilai jual tinggi. Misal dengan membuatnya menjadi ikan asap atau menjadi ikan asin tanpa duri dan sebagainya. Selain itu, pelu dibukanya pintu akses pemasaran bagi produk-produk yang mereka hasilkan. Hal ini dilakukan untuk mendukung ekspansi pasar agar tdak hanya berkutat di level pasar tradisional di desa setempat.
Semua itu belum bisa berjalan optimal tanpa disertai dengan upaya penyertaan modal usaha. Pendampingan dan pengawasan mutlak dilakukan demi terlahirnya entrepreneur wong desa. Sudah saatnya desa menjadi basis industri hasil-hasil dan kekayaan desa. Desa bukan lagi menjadi basis pemasaran hasil industri manufaktur dari kota.
Kampus juga harus mengubah pandangan tentang mahasiswa berprestasi di lingkungannya. Mahasiswa berprestasi adalah mahasiswa yang berkarya serta berkontribusi langsung secara aktif di masyarakat baik melalui organisasi maupun individu. Mahasiswa berprestasi tidak lagi dijejali sekadar manusia-manusia dengan nilai cum laude di atas kertas. Kertas hanyalah simbol bahwa ia pernah mengenyam pendidikan formal. Namun, bukti prestasi dan “nilai” yang sesungguhnya ialah bagaimana mahasiswa mampu memberikan sumbangsih pemikiran, tenaga, dan segenap potensi yang dimilikinya secara nyata dalam pembagunan khususnya di pedesaan.
Kepada merekalah reward setinggi-tingginya sepantasnya diberikan. Bukan sebaliknya, yang hanya menjadi penonton dengan selembar kertas berharga berisi nilai cum laude yang disebut berprestasi. Tantangannya sekarang adalah menjadi Indonesia: menjadi mahasiswa intelektual desa!
----------------
tulisan diatas dari esainya : Cahyadi Kurniawan, Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
http://kem.ami.or.id/2012/03/menjadi-indonesia-menjadikan-mahasiswa-intelektual-desa/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar