Dari Muba Untuk Muba

Blog ini bisa menjadi jendela bagi Kita, Jendela seputar kiprah, kegiatan, ide pikiran , gagasan saya dalam menjalankan tugas sebagai pemimpin daerah Kabupaten Muba. Saya Ingin Masyarakat lebih tahu sejauh mana saya menjalankan amanah ini, dalam penyajiannya Blog ini harus menyajikan info WAJAH YANG TANPA TOPENG. Semoga dapat memberi manfaat. - Salam !

Selasa, 06 Maret 2012

Manifesto Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima .

Sektor Informal dan Problem Pengangguran di Indonesia

Sektor informal di negara-negara berkembang memiliki peran yang penting dalam penyerapan tenaga kerja. Peran tersebut dapat dipahami dari kemampuannya dalam menyediakan lapangan pekerjaan secara mandiri atau dengan kata lain menjadi safety belt bagi tenaga kerja yang memasuki pasar kerja (Effendi dalam Abimanyu, ed., 1995:188; Kuncoro, 2003:228). Untuk konteks Indonesia, pada tahun 1999 sektor informal mampu menyerap tenaga kerja ebesar 61,99% dari seluruh angkatan kerja (Sukamdi dan Kusumasari, 2000:1).  Pada tahun 2005, angka kontribusi tersebut mengalami kenaikan menjadi 63,9% (Novita, 2007). Ini berarti bahwa selama periode 1999-2005 tingkat partisipasi masyarakat di sektor informal mengalami kenaikan sekitar 2%.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai pengangguran semakin menguatkan peran sektor informal. BPS menyebutkan bahwa tingkat pengangguran pada Februari 2008 menurun. Jumlah penganggur pada Februari 2008 mencapai 9,43 juta orang, berkurang 584.000 dibandingkan Agustus 2007 atau berkurang 1,12 juta orang dibandingkan jumlah penganggur pada Februari 2007 yang mencapai 10,55 juta orang. Problem pengangguran terselamatkan oleh sektor informal yang lebih bisa menyerap tenaga kerja (Rahayu, 2008). Menurut Deputi Kepala BPS Bidang Statistik Sosial, Arizal Ahnaf, penyerapan tenaga kerja dari tahun ke tahun selalu 70% di sektor informal dan 30% di sektor formal (Anonimous, 2008).

Pemberdayaan sektor informal seharusnya menjadi fokus utama pemerintah untuk menanggulangi problem pengangguran. Pemikiran ini diperkuat dengan adanya bukti bahwa secara konseptual usaha kecil (termasuk sektor informal) memiliki kemampuan untuk tetap bertahan di tengah gempuran krisis ekonomi seperti yang terjadi pada tahun 1998.

Menurut Basri (2002:210-211) kondisi usaha kecil pada krisis ekonomi 1998 tidaklah seterpuruk usaha besar. Setidaknya ada empat hal yang melatarbelakanginya. Pertama, sebagian besar usaha kecil menghasilkan barangbarang konsumsi (consumer goods) khususnya barang yang tidak tahan lama. Kelompok barang tersebut menurutnya dicirikan oleh permintaan terhadap perubahan pendapatan (income elasticity of demand) yang relatif rendah. Artinya, bila terjadi peningkatan pendapatan masyarakat, maka permintaan atas kelompok barang ini tidak akan meningkat secara signifikan. Sebaliknya, bila pendapatan masyarakat merosot, maka permintaan atas kelompok barang ini juga tidak akan berkurang secara signifikan. Kedua, mayoritas usaha kecil lebih mengandalkan pada non-banking financing dalam aspek pendanaan usaha, sehingga bila terjadi keterpurukan sektor perbankan –sebagaimana yang tengah terjadi saat ini– usaha kecil justru tidak banyak terpengaruh. Ketiga, pada umumnya usaha kecil melakukan spesialisasi produksi yang ketat dalam artian hanya memproduksi barang atau jasa tertentu saja. Kondisi ini membuat usaha kecil lebih fleksibel dalam memilih dan berganti jenis usaha. Keempat, terbentuknya usaha kecil terutama di sektor informal merupakan akibat dari banyaknya pemutusan hubungan kerja di sektor formal sebagai akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan, sehingga kondisi tersebut berkemungkinan besar akan semakin menambah unit-unit baru usaha kecil di sektor informal. Pengalaman ketangguhan sektor informal pada saat krisis ekonomi tahun 1998 berpotensi akan terulangi kembali saat ini dimana Indonesia merupakan salah satu negara yang terkena imbas dari krisis finansial global.

Salah satu bentuk sektor informal adalah Pedagang Kaki Lima (PKL) (Bromley dalam Manning dan Effendi, 1985:230). Ada dua pandangan yang umum berkembang dalam masyarakat mengenai keberadaan PKL (Yustika, 2000:177-199). Pertama, keberadaan PKL di perkotaan merupakan faktor penyebab terjadinya ketidakteraturan lalu lintas dan kekotoran atau kekumuhan lingkungan. Pandangan tersebut bagi pemerintah daerah tertentu adalah jastifikasi untuk melarang aktivitas PKL. Kedua, PKL merupakan potensi ekonomi rakyat. Potensi itu secara umum adalah kemampuan PKL dalam menyerap tenaga kerja beserta dengan sumbangan finansial kepada Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Pandangan yang kedua adalah yang paling memungkinkan untuk diaplikasikan. Implikasinya adalah bahwa sektor ini harus dikembangkan melalui penerapan kebijakan yang berpihak pada aspek pemberdayaan. Namun demikian, bagi daerah tertentu seperti: Kabupaten Banyumas, Kota Pekalongan, Kota Surabaya, dan Kota Kendari, bentuk kebijakan yang pro-pemberdayaan masih menjadi kendala serius karena kebijakan yang diproduk justru berlawanan, yaitu pelarangan aktivitas PKL yang kemudian ditempuh melalui pembatasan laju pertumbuhan ataupun bahkan penggusuran. Padahal menurut Bromley (dalam Manning dan Effendi, 1985:240) tindakan yang berlawanan dengan perkembangan sektor informal tersebut akan berdampak sangat serius, karena PKL pada dasarnya merupakan satu-satunya alternatif bagi banyak orang agar terhindar dari kemiskinan, pelacuran, dan kriminalitas.

Sejalan dengan pendapat Bromley di atas, Yustika (2000:180-181) juga menyatakan bahwa tindakan penggusuran akan mempunyai dampak yang berlipat (multiplier effect) baik secara ekonomi, sosial maupun politik. Secara ekonomi, penggusuran justru semakin akan semakin mempersulit upaya pemerintah untuk dalam mengatasi persoalan pengangguran. Secara sosial, upaya tersebut akan semakin menambah beban pemerintah untuk memberikan penyelesaian temporer terhadap pemecahan masalah yang berkaitan dengan jaminan hidup. Secara politik, akan memunculkan rupa-rupa perlawanan yang akan semakin memungkinkan munculnya disintegrasi sosial antarmasyarakat. Yang mengkhawatirkan adalah bahwa semua itu merupakan biaya yang harus ditanggung oleh pemerintah pusat/daerah apabila tidak segera merevisi pandangan dan kebijakan mereka terhadap aktivitas ekonomi sektor informal.

Problem tata kelola PKL sejatinya merupakan problem publik karena tidak hanya PKL atau pemerintah saja yang terlibat dan memiliki kepentingan kuat, tetapi juga melibatkan pihak lain. Publik tentunya masih ingat dengan kasus konfrontasi antara mahasiswa Universitas Halu Uleo (Unhalu), karyawan pemda, dan polisi di Kota Kendari pada 2007 yang lalu. Kasus konfrontrasi yang melibatkan kaum intelektual tersebut dilatarbelakangi oleh penolakan mahasiswa akan tindakan ‘penataan’ PKL yang dilakukan oleh aparat. Kasus ini tergolong unik karena mampu menarik perhatian publik secara nasional walaupun terjadi di daerah. Kasus ini terbilang sangat brutal karena antara mahasiswa dengan polisi saling menyerang antarsatu dengan yang lainnya. Mahasiswa men-sweeping polisi dan sebagai balasannya, polisi balik menyerang kampus bahkan sampai menyerang rumah dinas Rektor Unhalu. Saking gentingnya kondisi di Kota Kendari, polisi sampai menyiagakan 1.000 personil untuk mengantisipasi aksi demonstrasi. Tidak hanya sampai di situ, Kodam VII Wirabuana juga menyiagakan 1 (satu) peleton pasukan. Ternyata, di balik itu tuntutan publik hanya ada satu, yaitu penampungan khusus bagi PKL. Kasus ini menjadi bukti kebenaran argumentasi yang disampaikan oleh Yustika di atas.

Kasus yang sama secara substantif juga terjadi di daerah-daerah lain di Indonesia seperti di Kabupaten Banyumas, Kota Pekalongan, dan Kota Surabaya. Pemkab Banyumas berusaha untuk mengerem laju pertumbuhan PKL karena lokasi lokalisasi berupa trotoar dan ruas jalan dapat dipastikan tidak akan lagi mampu menampung PKL, sedangkan Kota Pekalongan dan Kota Surabaya bahkan sama sekali melarang aktivitas PKL di trotoar. Dengan demikian, secara umum pelarangan aktivitas PKL dilatarbelakangi oleh ketidakmampuan pemerintah daerah untuk menyediakan lokasi khusus yang representatif bagi lokalisasi PKL. Apa yang telah dilakukan oleh ketiga daerah tersebut merupakan panutan bagi pemberdayaan PKL dimana masing-masing pemerintah daerah telah mampu keluar dari lingkaran setan (vicious cyrcle) problem tata kelola PKL melalui produk-produk kebijakan yang peduli pada nasib orang kecil.

Manifesto Pemberdayaan PKL Berbasis Good Governance

Manifesto pemberdayaan PKL yang penulis susun merupakan upaya penulis untuk memberikan alternatif solusi bagi stakeholders terutama pemerintah mengenai problem tata kelola PKL yang terjadi. Tujuan penyusunan manifesto ini adalah sajalan dengan pemikiran Rukmana (2007) bahwa akomodasi dan bahkan penerimaan sektor informal (termasuk PKL) tidak hanya dilakukan untuk menekan konflik dengan otoritas pemerintahan yang seringkali terjadi tetapi juga untuk menekan problem yang berhubungan dengan lingkungan dan bahkan mempercepat transformasi kota dan meningkatkan kualitas hidup.

Problem yang berkembang saat ini sebagaimana telah dikemukakan pada pembahasan terdahulu adalah ketidakmampuan pemerintah untuk menyediakan lokasi representatif khusus bagi aktivitas bisnis PKL yang kemudian berujung pada tindakan penggusuran. Sejatinya, penggusuran tidak perlu untuk dilakukan manakala pemerintah memahami posisinya bahwa di tengah keterbatasan sumber daya yang dimiliki untuk menjalankan roda-roda pembangunan, dibutuhkan mitra untuk mengatasi keterbatasan tersebut. Sebagaimana disebutkan oleh Kooiman (1994:4) dan Neo dan Chen (2007), bahwa keterlibatan stakeholders lain, yaitu sektor swasta sebagai agen pembangunan selain negara (government) diawali oleh adanya kesadaran bahwa negara dihadapkan pada realitas yang semakin hari semakin dinamis dan kompleks. Muara dari pemahaman akan keterbatasan ini adalah apa yang kemudian dikenal dengan good governance. Lalu, bagaimanakah good governance dapat bekerja untuk mengatasai problem tata kelola PKL di Indonesia?

Secara konseptual, good governance berinti pada “the exercise of political, economic, and administrative authority to manage the nations affair at all levels”. Pada implementasinya, good governance merupakan sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan swasta yang oleh UNDP didasarkan pada sembilan prinsip, yaitu  partisipasi (participation), aturan hukum (rule of law), tranparansi (transparency), daya tanggap (responsiveness), berorientasi konsensus (consensus orientation), berkeadilan (equity), efektivitas dan efisiensi (effectiveness and efficiency), akuntabilitas (accountability), dan visi strategis (strategic vision) (LAN, 2004).

Harus dipahami bahwa pada manifesto pemberdayaan PKL berbasis good governance, pemerintah masihlah tetap berperan sebagai aktor kunci (key actor) penyelesaian problem tata kelola PKL. Dengan demikian bagaimanakah peran swasta dan masyarakat dapat dimainkan? Model pertama adalah swasta berperan sebagai investor dari model solusi yang dibangun oleh pemerintah, contoh menariknya dapat ditemukan di Kota Tegal dan Kabupaten Purbalingga. Pemkot Tegal dengan kreatifitas yang dimiliki berhasil membangun pusat PKL yang terkenal dengan sebutan ‘Tegal Laka-Laka’. Demikian juga dengan Pemkab Purbalingga yang pusat PKL-nya terkenal dengan sebutan ‘Kya-Kya Mayong’. Tempat yang disediakan tergolong tidak main-main, yaitu berupa jalan strategis yang terletak di tengah kota. Selama ini, bila ada solusi relokasi, maka yang terbayang pertama kali adalah lokasi baru yang tidak sestrategis lokasi lama, sehingga seringkali implementasi dari solusi tersebut malah mematikan potensi ekonomi PKL ataupun bahkan menimbulkan konflik vertikal berkepanjanganantara pemerintah dengan PKL sebagai efek penolakan atas solusi yang ditawarkan. Namun, kondisi sebaliknya justru terjadi di Kota Tegal dan Kabupaten Purbalingga. Peran swasta pada model solusi tersebut adalah sebagai pihak yang membangun sarana dan prasarana bagi PKL seperti meja makan. Sebagai kompensasinya, pemerintah memberikan space iklan khusus untuk produk-produk mitranya, demikian juga dengan sarana-prasarana PKL yang disulap menjadi lahan iklan.

Model kedua dari peran swasta adalah sebagai penyedia lokasi bisnis PKL di lokasi bisnis yang mereka miliki. Swasta yang penulis maksudkan adalah para pengusaha ritel dan pasar modern. Contoh menarik dari kasus ini dapat ditemukan di Purwokerto, Kabupaten Banyumas dimana PKL bermitra dengan Buaran Market, Rita Supermall, Queen Campus, dan Indomaret. PKL menempati lokasilokasi yang disediakan secara khusus oleh pihak swasta seperti: lokasi parkir dengan tarif tertentu sebagai kompensasinya. Namun, solusi ini belum mendapat respon positif dari Pemerintah Kabupaten Banyumas, padahal Pemkab sendiri memiliki keterbatasan untuk menyediakan lokasi alternatif selain trotoar dan ruas jalan yang telah dilegalkan dalam Peraturan Daerah (Perda) No. 4 Tahun 2003 Tentang PKL. Praktik kemitraan swasta-PKL yang terjadi di Purwokerto sejatinya juga mencerminkan implementasi konsep social entrepreneurship.[2] Bagaimana dengan peran masyarakat? Masyarakat yang penulis maksudkan adalah perguruan tinggi. Penulis menekankan bahwa perguruan tinggi memiliki tanggung jawab sosial (university social responsibility) untuk memberdayakan PKL sebagaimana yang diamanatkan dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi. Model pertama dari peran perguruan tinggi adalah sebagai penyedia pendidikan manajemen usaha. Selama ini, PKL dikenal sebagai sektor usaha yang lemah secara manajerial baik dari sisi keuangan maupun pelayanan kepada konsumen. Selain itu, PKL juga dikenal sebagai sektor usaha yang seringkali tidak memperhatikan aspek kebersihan baik pada produknya (makanan dan minuman) maupun pada lingkungan sekitarnya. Fakta terakhir inilah yang kemudian menjadikan pemerintah tidak bisa menerima kehadiran PKL karena menimbulkan dampak kekumuhan lingkungan. Kondisi sebaliknya tentunya akan tercipta bila kelemahan-kelemahan yang ditemukan diperbaiki melalui program pendidikan yang disediakan oleh perguruan tinggi.

Model kedua dari peran perguruan tinggi adalah sebagai penyedia lokasi bisnis bagi PKL. Model ini telah diterapkan oleh Universitas Brawijaya (UB) dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Melalui model ini, PKL dapat menempati lokasi yang disediakan oleh pihak universitas dengan kompensasi tarif yang telah ditetapkan.

Reformulasi Kebijakan: Syarat bagi Keberlanjutan PKL di Indonesia

Melalui manifesto pemberdayaan PKL berbasis good governance, penulis menekankan bahwa pemerintah lebih berperan sebagai regulator bagi penyelesaian vicious cyrcle problem tata kelola PKL. Adapun perguruan tinggi dan swasta adalah mitra yang perannya dapat dioptimalkan melalui penyediaan stimulus atau insentif finansial sebagai timbal balik atas kontribusi yang telah dijalankan.

Manifesto yang penulis tawarkan hanya dapat diterapakan dengan syarat adanya perubahan pandangan mengenai PKL dari yang semula dianggap sebagai sumber permasalahan menjadi dianggap sebagai potensi yang harus dikembangkan. Manifesto tersebut bagi pemerintah merupakan bahan bagi reformulasi kebijakan tata kelola PKL. Reformulasi kebijakan yang dimaksud merupakan upaya untuk mendefinisikan kembali solusi terbaik untuk memecahkan problem yang berkembang dengan tentunya melibatkan stakeholders agar solusi yang dihasilkan benar-benar mampu mengatasi akar problem yang muncul, sehingga keberlanjutan usaha PKL dapat dijaga.

Tidak dapat dipungkiri, saat ini Indonesia masih membutuhkan PKL sebagai salah satu penopang kehidupan ekonomi bagi masyarakatnya. Tindakan yang berlawanan dengan perkembangan PKL seperti: penggusuran, hanya akan menjadi bumerang bagi pemerintah itu sendiri karena sejatinya PKL merupakan satu-satunya pilihan pekerjaan agar masyarakat terhindar dari problem pengangguran, kemiskinan, kriminalitas, dan pelacuran. Pemerintah juga harus menyadari bahwa masyarakat memiliki keterbatasan dalam hal keahlian dan modal, sehingga PKL-lah satu-satunya penopang kehidupan mereka.

Kebutuhan Indonesia akan PKL semakin diperkuat dengan adanya fakta bahwa krisis finansial global juga telah mempengaruhi struktur perekonomian nasional dimana Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) menjadi ancaman serius. Pemerintah hanya perlu mengakomodasi PKL sebagai kekuatan ekonomi alternatif masyarakat melalui implementasi manifesto pemberdayaan PKL berbasis good governance.


ditulis Oleh: Nizar, Universitas Jenderal Soedirman.
copy from : http://kem.ami.or.id/2011/09/manifesto-pemberdayaan-pedagang-kaki-lima/?wpmp_tp=0

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar