Dalam Serat Centini diceritakan, mata-mata Susuhunan Amangkurat akhirnya mengetahui tempat persembunyian keturunan Sunan Giri, musuh bebuyutan dinasti Mataram. Dikejarlah Syekh Among Rogo ini dan para kerabat serta pengikutnya, hingga terpaksalah mereka menyebar ke seluruh pelosok Pulau Jawa. Ternyata, mata-mata atau intelijen sudah ada di zaman Mataram. Bahkan menurut beberapa kajian, tradisi intelijen sudah mendarah daging di kerajaan-kerajaan sebelum Mataram. Ini tidak mengherankan. Masalah intelijen sudah disebut-sebut dalam Ramayana, Mahabarata, dan oleh Kautilya, pemikir politik India kuno. Intelijen yang berfungsi juga sebagai pengawas memang diperlukan oleh kerajaan-kerajaan tradisional yang penuh intrik, faksi, klik, dan lain-lain. Namun, betapa efisiennya intelijen, misalnya di Mataram, ternyata pemberontakan, rebutan tahta, dan perpecahan lain tak terhindarkan.
Aparat para bupati di bawah pemerintah kolonial Hindia Belanda juga menunjukkan efisiensi kerja intelijennya menurut ukuran zaman itu. Seorang bupati bahkan memulai kariernya dalam pamong praja dengan menjadi mantri polisi, dan fungsi kepolisiannya tetap menjadi aspek penting bagi promosi dalam kariernya. Dan sebagai bupati ia pun menjadikan bidang kepolisian hal yang penting. Sebab, setiap keresahan apalagi pemberontakan yang terjadi di daerahnya dapat menjatuhkan kedudukannya.
Kalau Hindia Belanda memiliki intelijen yang efisien, akarnya mungkin harus dicari pada tradisi masyarakat Jawa. Sebab, Negeri Belanda sendiri tidak terlalu terkenal dengan kegiatan intelijennya, baik di masa lampau maupun modern. Seorang pengamat masalah intelijen, G.H. Bousquet, seorang sarjana Prancis di bidang kolonialisme, sebelum ia datang ke Hindia Belanda di tahun 1930-an, ia pengagum sistem kolonial Belanda. Negeri dengan 8 juta penduduk dapat menguasai 60 juta penduduk jajahan, jumlah yang lebih banyak daripada seluruh penduduk semua jajahan Prancis, negara imperialis kedua di dunia dengan koloni-koloni tersebar di seluruh dunia. Tapi ketika Bousquet pergi dari Hinda Belanda, ia merasa muak dengan sistem kolonial Belanda. Hampir segala tingkah lakunya, termasuk ceramah-ceramahnya tentang hal-hal yang tidak berkaitan dengan Hindia Belanda diawasi, dan diancam oleh semacam undang-undang subversi. Padahal Bousquet ini seorang konservatif yang tidak menentang kolonialisme dan imperialisme. Menurut Bousquet, Prancis atau Inggris dapat menindak semua bentuk perlawanan rakyat jajahan dengan kekerasan. Tapi Hindia Belanda tidak bisa melakukannya karena negaranya kecil sehingga harus menghindari citra agresivitas dan penggunaan senjata. Eksekusi dan hukuman mati adalah tabu bagi Hindia Belanda.
Hindia Belanda harus sangat hati-hati terhadap pendapat internasional. Hindia Belanda harus menghindari adanya martir. Maka, politik Hindia Belanda dalam menghadapi lawan-lawan politiknya adalah dengan mengantisipasi dan menghalangi gerak lawan. Untuk ini harus ada peraturan dan pelaksanaan pengekangan masyarakat, seperti sensor pers, larangan pemogokan dan berkumpul, dan seterusnya, serta pengawasan terhadap partai-partai. Karena itu, seluruh keamanan dan kekukuhan pemerintah Hindia Belanda bergantung pada sistem mata-matanya.
Hingga sebagian besar masyarakat pribumi kelihatannya menjadi informan polisi. Dan rupanya banyak informan yang sering terlalu bersemangat, melaporkan sesuatu lebih daripada fakta yang sebenarnya. Para pejabat Hindia Belanda baik pribumi maupun Belanda sadar sekali akan hal itu. Namun, Hindia Belanda tetap sangat bergantung pada informan-informan tersebut untuk menghindarkan pemberontakan seperti pada tahun 1926. Informan- informan ini, menurut Bousquet, adalah dasar sistem preventif Hindia Belanda. Ini memberi hak luar biasa pada gubernur jenderal untuk mengasingkan atau membuang atau mengisolasi orang yang dianggap membahayakan rust en orde.
Dalam penilaian Bousquet, Hindia Belanda dibandingkan dengan Inggris atau Prancis terlalu membelokkan hukum dan mengaturnya demi kepentingannya sendiri. Padahal negara kolonial pun, menurut Bousquet, perlu menegakkan hukum dan sesungguhnya juga merupakan negara hukum seperti negara modern lainnya. Negara apa pun tanpa hukum pada dasarnya bersifat revolusioner, artinya tanpa pelembagaan hukum dalam pengertian Bousquet. Selain para informan keamanan, Hindia Belanda, sebagaimana semua birokrasi termasuk birokrasi intelijen dan polisi, memiliki semacam tugas rutin dan kriteria tertentu untuk mencurigai dan mengawasi hal-hal tertentu. Seorang yang pernah terlibat dengan aparat keamanan, dengan sebab apa pun, seumur hidup akan dicengkeram olehnya.
Ada daerah-daerah tertentu yang selalu dicurigai. Blitar, misalnya, dicurigai karena menjadi pusat pemberontakan Surapati (abad ke-18) Ponorogo, karena warok dan lain-lain. Ada golongan orang, seperti keturunan para tokoh pembangkang, pemberontak, atau orang-orang dengan ciri- ciri khas seperti bertato, berambut gondrong yang wajib dicurigai oleh para intelijen. Dengan sendirinya praktek- praktek keamanan tersebut dapat mengakibatkan suasana opresif dan represif. Biarpun begitu, intelijen Hindia Belanda ternyata tak mampu menghalangi gerakan nasionalis yang memang tidak pernah benar- benar mengancam Hindia Belanda secara fisik. Hindia Belanda pada akhirnya tidak dapat menawan semua lawannya. Ini juga fakta yang dikatakan Bousquet.
Bagaimana dengan intel Jepang? Bagi kita di Indonesia, pasti menarik mengetahui apa yang dikerjakan intel Jepang di Asia Tenggara, khususnya di Hindia Belanda tempo dulu. Deacon (dalam bukunya MENYINGKAP DINAS RAHASIA JEPANG KEMPEI TAI Oleh: Richard Deacon Penerbit: PT Upaya Swadaya Aksara, Jakarta, 1986) bercerita, pada 1930-an satu tim opsir kesehatan Jepang diutus ke Hindia Belanda untuk mengamati kondisi sanitasi dan statistik penyakit di kawasan ini. Laporan tim ini memungkinkan para penguasa Jepang merencanakan bagaimana menghindari timbulnya penyakit di antara pasukan mereka ketika penyerbuan terjadi (tahun 1941). Seorang dokter Jepang, dalam tim tadi, menemukan hal lain dalam diskusi dengan para perwira Belanda dan dalam sensus di beberapa rumah pelacuran setempat. Tersingkap, sejumlah besar orang Jawa golongan atas, yang bekerja pada pemerintah Hindia Belanda, adalah homo seks.
Info ini dimanfaatkan Jepang untuk membuka sejumlah rumah pelacuran di Jawa dengan tujuan memancing, dan kemudian merekrut orang Jawa yang bekerja dalam pemerintahan sebagai mata-mata Jepang. Residen direktur agen-agen ini ialah seorang saudagar terkemuka bernama Tomegoro Yoshizumi, yang kemudian diusir penguaa Hindia Belanda. Selain itu, kapal-kapal nelayan Jepang beroperasi sebagai barisan siaga, ketika intel angkatan laut di sekitar Hindia Belanda.
Sebuah laporan yang diterima Belanda menyatakan, dua perwira cadangan Jepang menyamar sebagai tukang cuci (penatu), dengan harapan dapat menemukan dokumen yang tertinggal dalam saku pakaian seragam tropis opsir-opsir Belanda. Konsesi perkayuan yang diperoleh Jepang dekat Balikpapan di manfaatkan guna membuka jalur tanah hutan, yang direncanakan jadi landasan rahasia bagi kapal terbang. Di samping itu, Jepang jua memperoleh data mengenai hampir semua landasan udara darurat Belanda. Itulah yang dikerjakan oleh mata-mata Jepang sebelum Perang Dunia II di Indonesia.
Kempetai (Polisi Militer) dibentuk tahun 1881. Kempetai berkembang secara sangat berbeda dengan kebanyakan polisi militer bangsa-bangsa lain. Ia akhirnya menjadi apa yang mungkin bisa dilukiskan sebagai satu kombinasi dari kontraintel Inggris (MI-5). Cabang Khusus Kepolisian, dan DST milik Prancis (Intel Intern). Kempeitai menjadi satu kekuatan yang berdikari, kedudukannya jauh lebih kuat dalam hubungannya dengan angkatan darat itu sendiri.
Dalam Perang Dunia II, Kempetai mematahkan komplotan Sorge, spion Uni Soviet di Jepang. Aktivitas spion Yoshikawa di Hawaii, sebelum Pearl Harbor, dapat mengetahui jumlah dan jenis kapal perang Amerika yang berlabuh secara terinci, sehingga memudahkan penyergapannya. Tetapi tidak selalu dinas rahasia Jepang unggul. Ia pernah pula menjadi bersikap kurang hati-hati, dan tidak tahu laporan para agennya sudah dibuku-sandikan oleh dinas rahasia Amerika. Salah satu akibat diketahuinya sandi Jepang oleh Amerika ialah disergapnya pesawat terbang yang ditumpangi Laksamana Yamamoto di Rabaul, hingga perencana serangan angkatan laut Jepang terhadap Pearl Harbor itu meninggal.
Semua itu cerita masa lampau, tentu. Bagaimana sepak terjang intel Jepang sehabis Perang Dunia II? Berdasarkan ketentuan konstitusi, Jepang tidak diizinkan mempunyai angkatan perang yang besar, kecuali Pasukan Bela Diri saja. Sehingga, dinas rahasia harus dibongkar pula. Di bidang lain, Jepang juga tetap melakukan kegiatan intel. Misalnya intel di bidang ekonomi, industri, dan ilmu pengetahuan. Singkat kata, segala sesuatu yang sesuai dengan watak total intelligence. Sesudah perang, dinas intel Jepang disesuaikan dengan perkembangan Pasukan Bela Diri. Ia diwujudkan melalui berbagai badan penelitian, seperti Lembaga Penelitian Mitsui, tanki pemikir, dan organisasi ekonomi seperti Keidanren.
Apabila di zaman Kaisar Meiji (paruh kedua abad ke-l9) orang Jepang sudah terbiasa berpikir 20 sampai 30 tahun ke depan, sekarang mereka masih tetap begitu. Spionase Jepang sekarang untuk kemakmuran bangsa. Ini adalah suatu sistem yang melengkapi bangsa Jepang dengan suatu arus informasi yang mantap tentang perdagangan, pemasaran, perkembangan teknologi, penelitian ekonomi, dan tentang apa saja yang dapat membuahkan gagasan untuk memperbaiki tingkat hidup mereka. Adakah kaitan serta dampaknya terhadap Indonesia ? Menarik mencatat cerita Deacon, sebagai berikut: “Kelompok Mitsui, salah satu perusahaan nasional yang besar di Jepang, khususnya Divisi Pengembangan Teknik, menjajaki kemungkinan di luar negeri, dan belakangan ini aktif terutama di Indonesia “. Lembaga Teknologi Masa Depan dari Yujiro Hayashi dan Unit Penelitian Energi mengadakan survei dasar bagi kemungkinan pembangunan industrial estate di Indonesia * Keidanren (Federasi Organisasi Ekonomi) melihat bahwa, dalam proyek-proyeknya di Indonesia, mereka perlu bekera keras, karena mereka telah ketinggalan waktu.
Indonesia diperhatikan secara khusus dan saksama oleh Jepang, sejak hubungan ekonomi kedua negara dimulai lagi, setelah Presiden Soekarno terguling. Jepang, akibat kemunduran yang diderita pada waktu Soekarno berkuasa, merasa ketinggalan waktu dalam persaingan internasional yang menggelora di kawasan dunia itu. Keidanren mengambil inisiatif dan membentuk sebuah komite tetap mengenai Indonesia, yang mendesak cepat diadakannya investasi di kawasan ini serta mengirimkan ke sana sebuah misi penjajakan. Sejak Deacon menulis hal itu, kita mengetahui Jepang telah menjelma menjadi penanam modal asing nomor wahid di Indonesia. Kita pun maklum, data intel mengenai Indonesia yang dikumpulkan Jepang bersifat lengkap dan mencakup semua biang, ya, politik, ya, ekonomi, ya, apa saja.
Spionase Jepang sudah dimulai 2.450 tahun silam, sejak Sun Tsu, ahli strategi Cina, menyebarkan teknik-tekniknya di lapangan spionase. Tapi, dalam perkembangannya, spionase Jepang bersifat unik. Ia tidak hanya terbatas pada kepentingan militer, pertahanan, serta politik, tetapi mencakup semua bidang, termasuk masa depan yang dijangkau mereka dengan peramalan — kemudian berkembang menjadi futurologi — yang jitu. Maka, tepat bila Deacon menyebutkan dengan nama total intelligence — intel menyeluruh. Dalam memahami motivasi dinas rahasia Jepang, kita harus tahu dua faktor menonjol dalam watak nasionalnya. Pertama, semangat berdiri di atas kaki sendiri dan individualisme kuat, yang menyebabkan Jepang selama berabad-abad telah memisahkan diri dari dunia luar. Kedua hasrat mendalam terhadap segala macam ilmu pengetahuan, yaitu sifat ingin tahu yang telah menjadi pembawaan bangsa itu sejak lahir.
* Sumber Arsip Majalah Tempo
http://serbasejarah.wordpress.com/2011/07/21/cerita-mata-mata-alat-penguasa/#more-5133
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar