Pilkada dirancang untuk memperkuat demokrasi, menghasilkan pemimpin yang merakyat, memiliki empati, peka serta peduli terhadap kepentingan dan penderitaan rakyat. Dengan demikian, diharapkan lahir kebijakan yang memihak rakyat serta menumbuhkan daya saing berdasarkan keunggulan setiap daerah.
Tingkat signifikansi pilkada juga dapat dicermati melalui frekuensi penyelenggaraannya. Sejak Juni 2005 hingga tahun berjalan 2010 telah dilakukan 700 lebih pilkada. Berarti, setiap minggu rata-rata dua kali pilkada, tapi ternyata harapan masyarakat jauh panggang dari api. Tidak nyambung tingkat frekuensi pilkada dengan kesejahteraan rakyat.
Tentu banyak penyebabnya. Beberapa yang penting adalah sebagai berikut. Pertama, kausa struktural yang bersumber dari ketidakjelasan peran, tugas, dan wewenang gubernur. Ia, selain kepala daerah, adalah ”orangnya pusat” yang berkedudukan di ”unit antara” (provinsi) untuk melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan terhadap pimpinan kabupaten/wali kota sebagai ”unit dasar”.
Isu ini terbengkalai selama bertahun-tahun. Karena itu, meski Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025 sebagai pedoman menyusun program lima tahunan daerah sudah diterbitkan, pembangunan di daerah sangat sulit dikoordinasikan, apalagi diawasi.
Namun, yang lebih menyulitkan lagi adalah dominannya kepentingan transaksional di antara kekuatan politik di daerah dalam memperebutkan anggaran daerah. Oleh sebab itu, terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2010 tentang Kewenangan Gubernur merupakan salah satu jawaban mengatasi persoalan tersebut meskipun belum maksimal.
Kendala struktural lain adalah konflik kepala daerah dengan wakil kepala daerahnya. Sebagian besar dari 544 kepala daerah terlibat perseteruan yang sangat memengaruhi kinerja pemerintahan daerah. Pokok persoalan dimulai sejak proses pencalonan. Pada tingkat itu, calon wakil kepala daerah adalah tokoh yang mempunyai konstituensi, bahkan merupakan representasi kalangan tertentu yang dapat saling memperkuat pencalonan.
Tidak jarang kontribusi investasinya lebih besar dibandingkan calon kepala daerah. Namun, setelah pasangan menang dan dilantik, wakil kepala daerah hanya pembantu serta tidak mempunyai kewenangan yang jelas. Hubungan semakin memburuk kalau akses wakil kepala daerah melakukan ekstraksi kekayaan negara sangat dibatasi. Biasanya, wakil kepala daerah akan menghimpun kekuatan untuk mencalonkan diri pada periode berikutnya atau melakukan hal-hal agar kepemimpinan kepala daerah tidak berhasil.
Pada titik inilah birokrasi di daerah mulai tercerai-berai. Birokrasi terbelah karena jadi ajang pertarungan kepala daerah dengan wakil kepala daerah. Meski birokrasi dilarang undang-undang untuk berpolitik, kalau kedua pemimpin daerah memaksa birokrasi menjadi tim sukses, mereka harus bersedia; atau kehilangan jabatan dan masa depan, mengingat pembina mereka adalah kepala daerah.
Biasanya kemenangan satu pihak akan menggusur birokrasi daerah yang dicurigai sebagai lawan politiknya. Bahkan, jabatan birokrasi di daerah dapat dijadikan komoditas untuk mengembalikan investasi kekuasaan dalam pencalonan. Dinas-dinas ”mata air”, misalnya dinas permukiman dan prasarana wilayah, kehutanan, pertanian, dan pendidikan, dapat diperjualbelikan melalui mutasi—dapat terjadi setiap tahun—dengan harga ratusan juta rupiah.
Oleh sebab itu, reformasi birokrasi tidak akan pernah dapat dilakukan kecuali ada kekuatan yang dapat memaksa partai politik mengakhiri petualangan politiknya di ranah birokrasi. Hancurnya birokrasi di daerah hanya menunggu waktu saja.
Sejalan dengan semakin menguatnya politik kepentingan sebagai panglima, daya rusak pilkada yang akan lebih menghancurkan adalah proses menguatnya oligarki dan dinasti politik. Isyarat munculnya raja-raja kecil semakin sulit dihambat.
Kalau di tingkat nasional fenomena jaringan kekerabatan, oligarki, dan dinasti politik antara eksekutif, DPR, dan DPD sekitar 40 persen, perekrutan politik dalam pilkada pada 2010 diduga tidak kalah akselerasinya. Kajian yang lebih serius pasti akan mampu mengungkapkan bahwa perekrutan politik para pemburu kekuasaan sudah melabrak kepatutan dan kesantunan.
Indikasi sudah muncul, misalnya incumbent kepala daerah dua periode tidak malu-malu mencalonkan diri sebagai wakil kepala daerah di daerah yang sama atau menjagokan istri atau saudaranya. Mertua berpasangan dengan menantu. Incumbent bupati dua periode mencalonkan menjadi wakil bupati dan anaknya dicalonkan menjadi bupati menggantikan posisi ayahnya.
Dalam negara demokrasi, setiap warga negara mempunyai hak yang sama. Namun, mengingat iklim politik yang sarat dengan transaksi politik, justru demokrasi telah kehilangan rohnya karena kompetisi di medan pertarungan tidak adil. Mereka yang memiliki modal dari kekuasaan yang diperoleh dengan politik uang memiliki akses kepada kekuasaan dan mempunyai peluang yang lebih besar untuk menang. Membiarkan proses ini, pilkada bukan membuka surga bagi masyarakat, melainkan prahara yang akan menenggelamkan impian rakyat.
dikutip dari J Kristiadi Peneliti Senior CSIS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar