Dari Muba Untuk Muba

Blog ini bisa menjadi jendela bagi Kita, Jendela seputar kiprah, kegiatan, ide pikiran , gagasan saya dalam menjalankan tugas sebagai pemimpin daerah Kabupaten Muba. Saya Ingin Masyarakat lebih tahu sejauh mana saya menjalankan amanah ini, dalam penyajiannya Blog ini harus menyajikan info WAJAH YANG TANPA TOPENG. Semoga dapat memberi manfaat. - Salam !

Selasa, 12 Oktober 2010

Nasionalisme Ekonomi ala GITA WIRJAWAN Vs Kesejahteraan yang Berdaulat

Artikel Gita Wirjawan tentang ”Nasionalisme Ekonomi” (Kompas, 7/10) cukup membuat mata terbelalak. Dengan lantang penulis melabrak dan meluruskan berbagai pandangan tentang nasionalisme ekonomi yang dicapnya sebagai salah kaprah.

Dengan itu pula, ia menunjukkan dengan gamblang pandangan nasionalisme ekonomi yang dianggapnya benar, yang sekaligus dapat dibaca sebagai visi, semangat, dan kiblat ekonomi bangsa di bawah kepemimpinannya sebagai Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal. Bahkan mungkin visi ekonomi seluruh pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Karena ditulis seorang pejabat lembaga negara yang sangat strategis, artikel itu perlu ditanggapi secara sangat serius.

Pertama, visi ekonomi kita sudah jelas termaktub dalam Pancasila dan UUD 1945. Atas dasar itu, minimal ada dua aspek paling utama dari visi pembangunan ekonomi kita: mewujudkan dan menjamin kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia (keadilan sosial) dan menjamin kedaulatan kita di bidang ekonomi (kedaulatan ekonomi).

Karena itulah, asas pembangunan ekonomi kita adalah demokrasi ekonomi, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 Ayat 4 UUD 1945, ”Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan”.

Kedua, dalam kaitan dengan itu, adalah keliru besar dan bertentangan dengan konstitusi dan Pancasila kalau kita mengutamakan pertumbuhan ekonomi demi kesejahteraan rakyat dengan mengorbankan kedaulatan kita di bidang ekonomi. Keliru karena ini akan diterjemahkan dalam kebijakan implementasi bahwa tidak peduli siapa pun yang menguasai sumber- sumber daya ekonomi, asalkan rakyat sejahtera. Mau asing atau tidak, asalkan rakyat sejahtera.

Maka, tidak mengherankan berbagai proyek dan kekayaan sumber daya alam yang besar justru diserahkan kepada pihak asing dengan berbagai alasan yang sering kali dicari-cari.

Ini pula yang berlaku di bidang pangan. Kita telah salah kaprah menganggap ketahanan pangan sebagai sasaran pokok pembangunan sektor pangan kita. Akibatnya, asal rakyat bisa makan, asal pasokan pangan kita terjamin, tidak peduli dari mana pun asal-usul pangan itu dan tidak peduli dikuasai oleh siapa pun.

Artinya, impor pun tidak soal asal rakyat tidak lapar. Ini jelas keliru karena yang justru menjadi sasaran pokok kita adalah kedaulatan pangan, yaitu pemenuhan kebutuhan pangan rakyat oleh rakyat dengan mengandalkan kekuatan dan kemampuan rakyat sendiri.

Konsekuensi kebijakan implementasi dari kedua cara pandang ini sangat berbeda dengan segala implikasi politis dan sosialnya. Kedaulatan pangan mengharuskan kita membangun kekuatan pokok rakyat secara nasional di bidang pangan—dalam segala dimensinya—untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyat oleh rakyat dan oleh kekuatan nasional.

Bukan sebaliknya, menelantarkan kemampuan pangan rakyat dan kekuatan pangan nasional karena beranggapan asal rakyat tidak lapar karena setiap saat kita bisa impor.

Komitmen keberpihakan

Kesejahteraan ekonomi dan kedaulatan ekonomi adalah soal ideologi. Yang berarti ini soal visi, komitmen, dan sikap keberpihakan politik. Di tempat pertama kita sepakat, kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia adalah taruhan kita.

Namun, tidak benar kalau itu dilakukan dengan menggadaikan seluruh sumber daya ekonomi kita, termasuk menjadikan rakyat kuli di tanahnya sendiri sekadar asal makan asal sejahtera.

Manusia tidak hanya butuh makan. Manusia juga butuh harga diri, harkat, dan martabat. Sebaliknya juga benar, manusia tidak hanya butuh harga diri, harkat, dan martabat. Karena itu, visi kita adalah membangun dengan kekuatan dan kedaulatan kita sendiri. Itulah arti ”berdikari di bidang ekonomi” dari Trisakti-nya Bung Karno.

Itu pula makna ideologi marhaenisme Bung Karno: sejahtera berdasarkan keringat sendiri di tanah sendiri. Itulah demokrasi ekonomi yang sesungguhnya, yang sebenar-besarnya. Karena itu pula, kita tidak mau didikte dan tunduk begitu saja pada berbagai persyaratan dan tekanan utang luar negeri. Investasi asing hanya sekadar menjual dan menggadaikan sumber daya alam kita.

Dengan dasar ideologi ini, kita akan berpihak dan berusaha dengan segala cara yang layak dan elegan untuk memberikan prioritas kepada Adhi Karya, misalnya, untuk memperoleh proyek konstruksi di sektor migas.

Bukannya menolak Adhi Karya, perusahaan BUMN besar yang telah berpengalaman bahkan ke luar negeri, untuk menangani proyek konstruksi di sektor migas hanya karena alasan ”belum berpengalaman di sektor migas”. Sebuah alasan yang sangat tidak ideologis dan dicari-cari hanya untuk memenangkan asing.

Dengan dasar ideologi itu pula, dengan segala cara yang layak dan elegan, semua perusahaan yang mengelola sumber daya alam Indonesia diharuskan memasok seluruh kebutuhannya dari sumber dalam negeri oleh perusahaan lokal.

Bukan mengimpor segala macam ikan, sayuran, daging, dan buah-buahan dari luar negeri oleh perusahaan asing hanya karena alasan yang dicari-cari sekadar soal kualitas. Padahal, kualitas dapat kita kembangkan kalau kita punya komitmen dan keberpihakan untuk membesarkan perusahaan dan anak negeri ini.

Dengan dasar ideologi ini pula, kita tidak akan membiarkan sebuah perusahaan tambang besar di Halmahera menempatkan 14 manajer asing di antara total 16 manajer yang dimilikinya. Padahal, manajer Indonesia punya kualifikasi yang bisa lebih dari yang asing.

Argumen Gita Wirjawan mengatakan bahwa ”nasionalisme ekonomi jadi salah kaprah ketika sebuah entitas nasional maupun milik negara dipaksa terlibat dalam suatu proyek meski kapasitasnya tidak memenuhi kualifikasi teknis yang disyaratkan sehingga menghasilkan produk yang kurang optimal”. Ini jelas keliru besar karena hanya rasionalisasi dari keberpihakan pada kepentingan asing.

Argumen inilah yang digunakan untuk memenangkan ExxonMobil di Cepu. Padahal, kapan entitas nasional ataupun milik negara akan besar dan memenuhi syarat kalau kita tidak pernah diberikan kesempatan menjadi besar. Kapan PT Pertamina dan Adhi Karya jadi besar kalau kita tak pernah memberikan kesempatan kepada mereka. Bahkan, persyaratan itu lebih sering dicari-cari karena itu tidak pernah dibuka secara transparan terang benderang. Sekali lagi, ini soal komitmen keberpihakan.

Jadi, ada beda sangat besar dalam komitmen dan kebijakan di lapangan antara asal sejahtera dan sejahtera dengan kekuatan sendiri. Untuk itu, memang harus ada kebijakan khusus memberdayakan dan menguatkan potensi dan sumber daya kita, baik perusahaan nasional maupun milik negara.

Demikian pula, untuk itu, selama kualifikasi yang dibutuhkan terpenuhi di dalam negeri, asing tidak boleh diberikan kesempatan. Banyak contoh menunjukkan ini tidak terjadi justru karena ideologi ”sekadar asal sejahtera” tadi.

Tidak anti-asing

Demokrasi ekonomi tidak harus berarti kita anti-asing. Di dalam era globalisasi ini, hubungan kerja sama global adalah sebuah keniscayaan. Namun, kerja sama itu harus dibangun—sekali lagi—di atas dan berdasar atas ideologi yang jelas dan kukuh.

Itu berarti, asing tetap dibutuhkan, tetapi hanya sebagai pelengkap setelah prioritas keberpihakan ditujukan pada upaya membangun ”kedaulatan di bidang ekonomi” sesuai dengan asas demokrasi ekonomi. Untuk itu, memang prioritas harus diberikan kepada perusahaan nasional, swasta, ataupun milik negara.

Bahkan, ketika perusahaan nasional belum siap, mengapa harus dipaksa mengeruk sumber daya alam yang ada, yang sesungguhnya bisa dicadangkan untuk dikelola di kemudian hari ketika kekuatan nasional lebih siap dan harga akan lebih bagus?

Hal yang sama berlaku juga dalam kerja sama ekonomi. Kerja sama ekonomi dan demikian pula investasi asing harus didasarkan pada semangat saling membutuhkan serta saling menguntungkan dan memberdayakan kekuatan dalam negeri.

Untuk realisasi demokrasi ekonomi itu, negara tidak bisa lepas tangan dan membiarkan segala urusan ekonomi kepada pasar. Negara harus terlibat secara aktif, merencanakan, dan merekayasa untuk memberdayakan kekuatan dalam negeri. Tidak bisa kekuatan nasional dibiarkan diurus oleh pasar.

Untuk itu, negara harus terlibat aktif membangun wilayah tertentu yang memang belum berdaya dan tidak ada swasta yang tertarik membangun di situ. Ini demi kesejahteraan yang adil dan berkedaulatan tadi. Maka, keliru besar jika Gita Wirjawan mengatakan bahwa ”upaya pemerataan ekonomi tidak dapat tercapai dengan memaksakan dibangunnya suatu proyek di wilayah tertentu di Indonesia”.

Justru sebaliknya, negara wajib memaksa pembangunan proyek tertentu di wilayah tertentu yang terbelakang dan tidak sejahtera demi menjamin peningkatan kesejahteraan dan kekuatan ekonomi wilayah tersebut.

A SONNY KERAF Mengajar Filsafat Ekonomi pada Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya, Jakarta


............................................



Nasionalisme Ekonomi
kompas / Kamis, 7 Oktober 2010


Pada masa Yunani kuno, ada kepercayaan bahwa manusia dilahirkan dengan naluri thymos, yakni kebutuhan akan pengakuan atau penghargaan yang sering kali diwujudkan dengan semangat membela kelompok, klan, suku bangsa, atau kota.

Sifat naluriah ini tampak pula dalam suatu konsep yang kerap disebut nasionalisme ekonomi.

Setiap negara tentu selalu mengedepankan kepentingan nasional, dan karena itu konsep nasionalisme ekonomi bisa ditemukan di negara mana pun, bahkan di AS yang dianggap selalu berorientasi ”pasar bebas”. Slogan ”buy American” atau panggilan untuk mengonsumsi produk-produk AS, misalnya, adalah salah satu contohnya. Upaya mendorong konsumsi produk nasional ini juga banyak dilakukan di negara-negara lain, termasuk di Indonesia.

Istilah nasionalisme ekonomi memiliki beragam interpretasi, dan interpretasi ini ikut membentuk pilihan-pilihan kebijakan ekonomi nasional. Karena itu, penting memahami definisi dan interpretasi ini lebih mendalam agar kebijakan ekonomi yang muncul dari definisi tersebut adalah kebijakan yang mengedepankan kepentingan nasional.

Untuk memastikan bahwa nasionalisme ekonomi di Indonesia bisa benar-benar mencapai kepentingan nasional, semangat nasionalisme ekonomi ini perlu diterapkan serta disikapi secara bijak dan pada porsinya. Penerapan nasionalisme ekonomi yang kurang tepat justru bisa menghambat pertumbuhan ekonomi, dan pada akhirnya tidak sejalan dengan upaya membawa kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Struktur kepemilikan

Salah satu penerapan semangat nasionalisme ekonomi yang kurang tepat adalah besarnya fokus pada struktur kepemilikan suatu investasi dibandingkan sejauh mana investasi bermanfaat bagi rakyat Indonesia. Banyak sektor penting di Indonesia bersifat padat modal.

Dana yang dibutuhkan untuk memulai usaha di sektor tersebut nilainya mencapai miliaran dollar AS per tahun. Namun, kesediaan pendanaan di dalam negeri terbatas. Ditutupnya sejumlah sektor yang sesungguhnya membutuhkan pendanaan dari luar negeri menghambat berkembangnya sektor-sektor ini, dan pada akhirnya menghambat penciptaan nilai di Indonesia, baik dalam bentuk ketersediaan barang dan jasa yang lebih baik maupun inovasi dan teknologi baru, penciptaan lapangan kerja, dan sebagainya.

Apabila kesenjangan akan kebutuhan modal di sektor-sektor penting ini dibebankan kepada modal swasta yang jumlahnya di Indonesia juga terbatas, ini secara tidak langsung akan mendorong aliran dana investasi ke sektor lain yang lebih ramah modal asing meskipun sektor tersebut bukan sektor kunci pertumbuhan ekonomi. Ini pada akhirnya akan berdampak negatif terhadap produktivitas marginal modal yang ada. Bahkan, berdampak pula pada kurang optimumnya struktur kepemilikan di sektor-sektor penting itu.

Penerapan nasionalisme ekonomi juga menjadi kurang pada tempatnya bila kewajiban bagi perusahaan asing untuk bermitra dengan perusahaan domestik diartikan sebagai kemitraan dengan BUMN, di mana BUMN dipandang sebagai kendaraan bagi kesejahteraan sosial karena dimiliki oleh negara. Nasionalisme ekonomi jadi salah kaprah ketika sebuah entitas nasional maupun milik negara dipaksa terlibat dalam suatu proyek meski kapasitasnya tak memenuhi kualifikasi teknis yang disyaratkan sehingga menghasilkan produk yang kurang optimal.

Terkadang penyikapan nasionalisme ekonomi hadir pula dalam bentuk pembatasan pilihan lokasi penanaman modal. Kegiatan ekonomi yang terkonsentrasi di beberapa wilayah memang membutuhkan upaya khusus agar bisa lebih merata. Namun, upaya pemerataan kesejahteraan tidak dapat tercapai dengan memaksakan dibangunnya suatu proyek di wilayah tertentu di Indonesia.

Manfaat ekonomi

Keputusan pemilihan proyek dan penanaman modal harus didasarkan pada besarnya manfaat ekonomi dari proyek dan kesesuaian proyek dengan kebutuhan wilayah tertentu. Hasil akhir yang diharapkan adalah pemerataan ekonomi dan kesejahteraan di seluruh wilayah Nusantara, bukan persamaan jumlah bandar udara, jumlah pabrik, maupun panjang jalan.

Dampak nasionalisme ekonomi yang salah kaprah sangat besar. Agar roadmap strategi investasi dapat dieksekusi dengan efektif—dari fase quick wins yang mengoptimalisasi sumber daya alam, pembangunan infrastruktur keras dan lunak, fase industrialisasi, sampai fase ekonomi berbasis pengetahuan—Indonesia harus memperbesar kue ekonominya terlebih dahulu.

Dan hal tersebut membutuhkan kerja sama seluruh pihak, termasuk dengan pihak swasta nasional dan asing. Terlebih lagi mengingat sebagian besar target investasi Rp 2.000 triliun per tahun diharapkan dari mereka.

Saat ini, Indonesia sedang menjajaki berbagai cara untuk menggandengkan modal publik dan swasta, baik asing maupun domestik. Salah satunya adalah restrukturisasi kemitraan antara pemerintah dan swasta (PPP). Kepastian mengenai alokasi risiko dan penguatan peran pemerintah akan memancing selera investor untuk terlibat dalam proyek PPP dalam skala besar.

Contoh lainnya adalah pemberian insentif fiskal secara selektif. Ketika ditargetkan kepada investor yang tepat dan pada sektor yang tepat pula, potensi potongan pajak dari insentif tersebut dapat di-offset dengan manfaat ekonomi yang lebih besar setelah proyek tersebut berjalan seperti dari peningkatan volume ekspor atau lapangan pekerjaan baru yang tercipta.

Salah satu contoh lagi adalah matchmaking para investor, yang sering difasilitasi Kamar Dagang dan Industri Indonesia, Himpunan Pengusaha Muda Indonesia, dan berbagai lembaga dan asosiasi industri nasional dan daerah lainnya melalui kerja sama dengan pemerintah. Komitmen untuk memperluas fungsi fasilitas dan jejaring usaha bertujuan membangun hubungan bisnis yang berkelanjutan.

Sepintas, upaya ini seperti mengabaikan kepentingan nasional karena mendahulukan kepentingan penanam modal, terutama penanaman modal asing. Akan tetapi, sejumlah penelitian menunjukkan bahwa jika dirancang dengan baik, upaya ini akan membawa arus dana yang dibutuhkan serta manfaat jangka panjang yang besar bagi rakyat.

Penyikapan nasionalisme ekonomi yang pada porsinya bukanlah debat mengenai liberalisasi ekonomi versus proteksionisme ekonomi. Penyikapan yang dilakukan adalah bagaimana penerapan nasionalisme ekonomi bisa berfokus pada manfaat ekonomi secara menyeluruh.

Investasi yang menciptakan lapangan pekerjaan baru, meningkatkan pendapatan pajak, standar hidup, memberikan transfer teknologi dan pengetahuan, serta mendorong perkembangan sektor turunan lainnya harus menjadi beberapa faktor yang diperhitungkan, di atas pertimbangan asal modal maupun struktur kepemilikan modal.

Pada akhirnya, definisi dan interpretasi nasionalisme ekonomi yang harus dipertimbangkan adalah yang sejalan dengan semangat pro-poor, pro-growth, dan pro-jobs untuk mencapai PDB Indonesia 1 triliun dollar AS pada 2014, menciptakan lapangan kerja, dan menurunkan angka kemiskinan.

GITA WIRJAWAN Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal



...............................


Nasionalisme Ekonomi Vs Rendemen Modal
Senin, 11 Oktober 2010


Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Gita Wirjawan menulis di halaman 7 Kompas, 7 Oktober 2010, dengan judul ”Nasionalisme Ekonomi”. Dari artikel itu, ada kesan kepemilikan modal dianggap tidak penting. Yang lebih penting adalah manfaat ekonomi yang bisa dipetik. Persoalannya, siapa yang memetik manfaatnya?

Saya membatasi diri untuk mengajukan beberapa pertanyaan. Apa ada pemilik modal yang membagi bagian terbesar dari rendemen modalnya untuk orang lain ? Kalau betul, alangkah bodoh pemilik modal yang bersangkutan!

Argumen yang disampaikan selama ini, kehadiran dan beroperasinya modal, di mana pun, pasti akan mempunyai dampak yang bersifat multiplier dan menjalar ke mana-mana, trickle left, trickle right, trickle up, dan trickle down. Dapatkah Kepala BKPM menunjukkannya dengan angka- angka seperti yang selalu dilakukan oleh para ekonometris di negara-negara maju, Eropa dan Amerika Serikat?

Kalau modal asing sebesar 200 miliar dollar AS masuk ke Indonesia untuk mengeksploitasi batu bara, batu bara yang disedot adalah komponen dari produk domestik bruto (PDB). Tetapi, PDB itu milik siapa? Bagaimana pembagian PDB-nya, dalam bentuk: berapa rendemen modal buat pemilik modal? Berapa royalti dan pajak buat pemerintah? Berapa lapangan kerja yang diciptakan? Berapa upah setiap buruh dan staf Indonesia?

Kalau pembagian manfaat buat setiap orang yang terlibat dalam bekerjanya modal dipersandingkan, apakah betul peran modal asing akan menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia secara adil? Bagaimana hitung-hitungannya?

Penciptaan nilai

Dalam artikel Kepala BKPM antara lain ada bagian yang menyatakan ”... menghambat penciptaan nilai di Indonesia...”. Persoalannya, ”penciptaan nilai di Indonesia” apakah sama dengan ”penciptaan nilai buat bangsa Indonesia”? Prof Sri-Edi Swasono sering mengatakan bahwa yang terjadi di Indonesia adalah pembangunan di Indonesia dengan manfaat terbesar buat pemilik modal asingnya, bukan buat rakyat Indonesia yang memiliki sumber daya alam.

Pemerintah menerima pajak dan royalti yang sangat kecil dibandingkan dengan laba bersih buat investornya. Bagian terbesar dari rakyat Indonesia terlibat sebagai kuli-kuli dengan upah yang sangat minimal, mungkin upah minimum regional (UMR).

Siapa yang benar? Lihat saja, misalnya, apa yang terjadi dengan Freeport. BUMN bisa baik dan bisa rusak-rusakan. Sama seperti swasta yang tidak dapat disangkal ikut merusak ekonomi Indonesia dengan skala angka- angka yang luar biasa besarnya. Apakah menurut Kepala BKPM, swasta di AS pada krisis tahun 2008 tidak merusak ekonomi AS dan dunia sampai Presiden Obama menjadi sangat ”kiri” seperti sekarang ini?

Sumber daya alam yang terdapat di dalam perut bumi Indonesia, di dalam perairan Indonesia, di atas perut bumi berbentuk hutan-hutan, adalah kekayaan yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa karena tidak ada yang membuat seperti halnya dengan pabrik roti, pabrik obat, pabrik mobil, pabrik komputer, pabrik perangkat lunak (software). Kesemuanya ini kekayaan yang buatan manusia (man made) dengan kombinasi modal.

Akan tetapi, semua kekayaan alam tadi diberikan oleh Tuhan kepada rakyat yang menghuni bumi yang bersangkutan. Jadi, yang terdapat di Indonesia adalah untuk bangsa Indonesia. Karena Tuhan Maha Adil, membagi manfaat dari kekayaan alam harus secara seadil-adilnya.

Siapa yang harus mengeksploitasi sumber daya alam untuk kepentingan rakyat Indonesia ini? Bukankah itu tanggung jawab mereka yang sudah diberi wewenang dan gaji oleh rakyat Indonesia sebagai pemilik semua kekayaan alam itu? Apa bentuk organisasi yang harus mengeksploitasi aset milik rakyat Indonesia pemberian Tuhan itu kalau bukan BUMN? Hanya karena per definisi BUMN dianggap sudah rusak dan pegawainya korup, tidak bisa dipakai sebagai alasan untuk lantas menyerahkan semua dengan gampangnya kepada asing.

Ada anggapan seolah perusahaan seperti Goldman Sachs dan JP Morgan mesti bersihnya, mesti efisiennya. Benarkah? Kalau benar begitu, kenapa bisa terjadi krisis Wall Street pada tahun 2008? Bukankah sang raksasa AIG dan Lehman Brothers lenyap dalam sekejap?

Kepala BKPM mengungkapkan, ”Sepintas, upaya ini seperti mengabaikan kepentingan nasional karena mendahulukan kepentingan penanam modal, terutama penanaman modal asing. Akan tetapi, sejumlah penelitian menunjukkan bahwa jika dirancang dengan baik, upaya ini akan membawa arus dana yang dibutuhkan serta manfaat jangka panjang bagi rakyat”.

Selanjutnya ditambahkan, ”Penyikapan yang dilakukan adalah bagaimana penerapan nasionalisme ekonomi bisa berfokus pada manfaat ekonomi secara menyeluruh”. Dapatkah saya mendapatkan penelitian dimaksud serta rincian yang lebih konkret dan lebih eksak mengenai bagaimana penerapan nasionalisme ekonomi yang bisa berfokus pada manfaat ekonomi secara menyeluruh tersebut?

Kalau disingkat, inti artikel tersebut adalah modal asing harus kita arahkan sedemikian rupa sehingga manfaatnya kesejahteraan rakyat Indonesia yang sangat besar, adil dan merata. Persoalannya, bagaimana caranya?

Rendemen pemilik modal

Ketika Bung Karno menjadi presiden, kalau ada menteri yang mengemukakan what to achieve, dan setelah ditanya Bung Karno tidak bisa menjawab how to achieve secara rinci, beliau mengangkat kakinya yang telanjang ke atas meja, menunjuk jari kaki jempolnya sambil mengatakan kepada sang menteri yang bersangkutan, ”Kalau hanya begitu pikiranmu, dan weet mijn grote teen ook (jempol kakiku juga tahu).”

Last but not least, bukankah modal dari mana pun, juga modal asing, harus memberikan rendemen buat pemiliknya? Kalau modal asing ditanam ke dalam barang publik, bukankah rakyat harus membayar barang publik itu kepada pemilik modal? Di negara-negara yang maju, jalan raya bebas hambatan, air bersih (bisa diminum) dan transportasi massa gratis atau kalau perlu merugi, dibiayai secara gotong royong melalui pajak progresif, dan uang pajak ini tidak perlu dikembalikan oleh penggunanya.

Maka, kalau kita bepergian ke Eropa dan AS, highway, freeway, autobahn, snelweg, semuanya gratis. Tidak seperti Indonesia, pemakainya harus membayar dengan tarif tol cukup tinggi sehingga bisa memberikan rendemen kepada pemilik modal yang memuaskan, yang harus lebih tinggi dari tingkat bunga bank yang dibayar olehnya.

Kwik Kian Gie Ekonom

copy from cetak.kompas.com

2 komentar:

  1. Pernyataan Bpk Gita W memang sangat mengundang kontradiksi, terlebih lagi dengan pernyataannya bahwa kebadaan modal asing atau domestik di Indonesia tidak terlalu penting yang penting adalah memberi banyak “khasiat” bagi rakyat. Dari buku berjudul Bad Samaritans yang say abaca, porsi penanaman modal asing di suatu negara adalah hal yang penting. Karena dengan begitu, pemerintah jadi lebih mudah untuk tetap mengatur perekonomian. Sehingga porsi penanaman modal harus dibatasi. Pada sebagian negara yang maju perekonomiannya, karena memang mereka masih menerapkan sebuah sistem ekonomi yang dikendalikan Pemerintah.

    BalasHapus
  2. Menyoroti artikel @gitawirjawan tentang Nasionalisme Ekonomi, yang ecara garis besar mengritik ide nasionalisme ekonomi yang mendasarkan pada pembatasan kepemilikan modal nasional itu salah kaprah. Contohnya kebijakan yang memproteksi sama sekali modal asing tidak boleh masuk bisnis tertentu. Atau kebijakan yang membatasi modal asing, seperti tidak boleh lebih 50%, boleh lebih dari 50% asal tetap ada modal nasional, dstnya. Menurut saya kita harus memandang suatu statement itu secara positif dan netral, karena statement seorang @gitawirjawan sebenarnya menurut hemat saya memiliki substansi yang posisif dan pro rakyat, karena memupuk Nasionalisme Ekonomi sangatlah penting apalagi yang nantinya bermuara pada kesejahteraan dan kepentingan rakyat. Namun disamping itu sebenarnya ada sesuatu yang miss yang tidak @gitawirjawan paparkan, yakni seberapa besar porsi yang semestinya diberikan dan sejauh mana batasan itu harus diterapkan, baik secara hitungan matematis maupun secara ekonomis.

    BalasHapus

Komentar