Terus memahami arti penting sejarah selalu memberikan pencerahan dalam memahami kehidupan kekinian. Arah langkah hari ini ternyata merupakan dampak dari proses penjang sejarah masa lalu. Berikut tulisan dari Pidato Pramoedya Ananta Toer pada peluncuran ulang Media Kerja Budaya, 14 Juli 1999 di Aula Perpustakaan Nasional, yang masih relevan bagi perenungan akan arti penting sejarah.
Para hadirin yang terhormat,
Sebetulnya apa yang saya katakan dalam 10 tahun ini sudah sering saya katakan secara lisan. Sekarang saya sampaikan lagi secara lisan.
Pertamakali tentang negara kita adalah negara maritim terdiri dari belasan ribu pulau tetapi mengapa diduduki oleh Angkatan Darat. Dari bupati kadang-kadang sampai kepala desa. Mengapa ini bisa terjadi. Ini adalah kesalahan historis. Kesalahan lain dengan kekeliruan. Kesalahan berasal dari sudah dari otak, kalau keliru itu adalah salah dalam pelaksanaan teknis. Kenapa terjadi kesalahan ini?
Dalam abad ke 16 Indonesia dikuasai oleh Portugis. Portugis menamakan Indonesia, India Portugis. Portugis dihalau Belanda, menamakan Indonesia, Hindia Belanda. Kenapa kata Hindia dipergunakan? Karena dalam abad ke 16 itu dunia Barat mencari rempah-rempah. Dan rempah-rempah itu mereknya Hindia. Padahal asalnya dari Maluku dan Aceh (Sumatra) itu sebabnya terbawa-bawa terus nama India dan sampai sekarang pun kita belum pernah mengkoreksinya, nanti akan menyambung.
Pada waktu Belanda menguasai Indonesia menjadi kekuasaan maritim di dunia. VOC ini, Serikat Dagang Belanda yang membangun imperium maritim terbesar di dunia dengan ibukotanya Batavia. Dan Batavia ini menyebabkan lahirnya Java-centrisme, semua diukur untuk kepentingan Jawa. Jadi VOC itu mengirimkan pembunuh keluar Jawa untuk menundukkan luar Jawa. Dari Luar Jawa membawa harta di bawa ke Jawa. Ini Perbuatan VOC. Tetapi kemudian VOC bangkrut, kapal-kapalnya pada tenggelam karena korupsi para pejabat, dengan mengangkuti barang-barang berlebihan. Bangkrut VOC, kemudian muncul pemerintah Hindia Belanda, karena sudah tidak mempunyai kekuasaan laut lagi.
Pertahanan Hindia Belanda itu didasarkan pada pada pertahanan Darat. Dan pertahanan Darat dipertahankan sistemnya pada sekarang ini. Padahal sistem pertahanan Indonesia harus pertahananan laut. Salah satu bukti kelemahan pertahanan Darat untuk negara maritim. Pada tahun 1812, waktu Hindia Belanda dikurung oleh Inggris dari laut, dalam beberapa hari angkat tangan. Waktu diserang oleh Jepang pada 1942 dalam beberapa hari juga angkat tangan. Jadi kalau itu diteruskan sampai sekarang, itu bukan lagi kekeliruan, tetapi kesalahan. Persoalannya adalah keberanian untuk mengkoreksi kesalahan. Keberanian tidaknya itu terserah kepada angkatan muda yang belum terpakukan pada sebuah sistem.
Sekarang ini kekeliruan pada waktu Hindia Belanda melaksanakan politik etik, yakni politk balas budi kepada Hindia, timbul organisasi-organisasi pribumi, di Belanda pun muncul organisasi mahasiswa dan terpelajar yang dipelopori oleh Sutan Kasayangan jumlahnya sangat sedikit. Karena yang terbanyak ke Belanda dari Indonesia adalah babu dan jongos. Ada organisasi kecil, sangat kecil. Makin banyak pelajar yang kesana dan kemudian buangan Indische Party, lantas timbul perhimpunan Indonesia. Dengan munculnya Perhimpunan Indonesia itu, pemuda dan buangan ini menemukan tanah air dan nation-nya. Bukan tanah air dan nation yang konkrit tetapi masih fiktif dan ini dinamakan Indonesia. Pada waktu itu nama Indonesia sedang populer. Dipopulerkan oleh Adolf Bastian orang Jerman. Sebetulnya yang menemukan nama ini orang Inggris, tetapi sekarang ini Saya lupa namanya sorry ya!
Disini terdapat kekeliruan, bukan kesalahan. Karena nama Indonesia itu kepulauan Hindia. Bastian menggunakan kata Indonesia itu untuk etnographi. Karena itu pada persiapan kemerdekaan bagaimana wilayah dan penduduk Indonesia. Orang yang waktu ikut perhimpunan Indonesia adalah ras melayu, itu sesuai dengan ajaran Bastian. Jadi Maluku segala tidak masuk Indonesia, tetapi Malaya, Singapura masuk Indonesia. Tetapi ini dibantah oleh grup lain yang mengatakan Indonesia bukan persoalan etnographi, tetapi persoalan kesamaan dalam penjajahan, yaitu wilayah bekas Hindia Belanda, yang terakhir menang. Jadi nama Indonesia masih terbawa.
Dan partai permulaan itu adalah PKI pada tahun 1923, setelah itu partai semua menggunakan nama Indonesia. Sebelumnya PKI namanya Partai Komunis en Hindia. Jadi di sini ada kekeliruan menggunakan nama Indonesia. Zaman Majapahit namanya Nusantara. Zaman Singasari lebih tua lagi Dipantara, Nusantara di antara dua benua. Jadi ada keberanian mengkoreksi atau tidak? Terserah.
Kembali lagi kita ke masa lewat. Mengapa Belanda yang begitu kecil bisa menguasai Indonesia? Luas wilayahnya tidak lebih besar dari Jawa Barat. Karena politik kolonial Belanda adalah politik parternalisme. Karena Belanda itu pedagang, maka golongan menengah itu dibasmi. Golongan menengah pada waktu itu praktis terdiri atas pemilik kapal dan pedagang antar pulau dan internasional. Kapal-kapal mereka dihancurkan oleh kapal meriam Belanda di laut. Mereka terdesak ke pelabuhan-pelabuhan, terdesak terus ke pedalaman sampai kembali menjadi petani. Dan golongan menengah yang kosong ini diisi oleh orang-orang Tionghoa, itu history.
Dalam politik paternalisme kolonial perkawinan antara kolonialisme dan feodalisme. Produk perkawinan itu begitu mendalamnya menghancurkan golongan menengah pribumi. Produk perkawinan antara kolonialisme dan feodalisme, adalah satu kelas khusus dalam masyarakat kelas ini pada zamannya dinamai priyayi. Priyayi ini yang melahirkan kemudian birokrasi kolonial. Karena sudah asal-usulnya demikian maka kita bisa menduga mentalnya demikian. Politik paternalisme ini merasuk dalam-dalam kehidupan, sehingga orang memanggil satu-samalain itu bapak atau saudara, padahal itu panggilan, sapaan yang hipokrit. Tidak ada hubungan apa-apa. Mengapa mesti memanggil bapak, memangnya sudah kawin sama dengan ibunya. Untuk mengguunting putus partenalisme itu, Bung Karno pernah menciptakan kata sapaan Bung.
Dengan kata Bung orang yang dihadapi dianggap mandiri. Jadi sebaliknya kita menilai kembali penemuan Bung Karno, karena dengan sapaan itu orang dianggap mandiri. Pada waktu di Buru saya pernah dipanggil oleh Sersan Karo-Karo, ia berkata “bapak sudah tua, sudah saya anggap orang tua sendiri, lalu bak-buk saya dipukul.” Saya ikut jengkel dengan persoalan paternalistik ini, karena sudah ikut mengalami pahitnya.
Jadi, tadi saya sudah katakan Jawa sentrisme, VOC, kemudian Hindia Belanda juga mengirim pembunuh-pembunuhnya dari Jawa ke luar Jawa untuk mendudukkan luar Jawa, dan dari luar Jawa mengambil kekayaan ke Jawa. Pola ini berlangsung sampai sekarang. Itu sebabnya Bung Karno pernah berencana memindahkan Ibukota ke Palangkaraya. Tapi sebelum bisa melaksanakan muncullah yang namanya Harto. Saya pernah menerima seorang pustakawan Universitas Cornell nama Ben Abel, dia itu orang Dayak dari Palangkaraya. Saya tanya bagaimana hutan Palangkaraya, karena menurut Semaoen, pemikir perpindahan Ibukota ke Palangkaraya. Saya tanya ke Pak Semaoen, “Biayanya apa?” Pak Semaoen menjawab “Gampang saja untuk Indonesia, hutan Palangkaraya.” Tapi Ben Abel yang datang ke rumah. Saya tanya, “Bagaimana hutan Palangkaraya?” Jawabnya “Gundul, sudah habis semua.” Jadi hutannya habis ibukotanya tidak jadi pindah. Demikianlah kisah sedikit tentang Orde Baru.
Sekarang terjadi gerakan separatis. Ada Aceh Merdeka, Papua Merdeka, segala macam Merdeka. Apa sebabnya demikian? Ini masih tetap dalam suatu kesalahan yang memenage Indonesia sebagai negara maritim oleh pendudukan Angkatan Darat. Kalau dimanage sebagai negara maritim, laut akan menghubungkan satu pulau ke pulau lainnya. Tapi dengan pendudukan Angkatan Darat memisahkan dari pulau satu dengan pulau lainnya. Ini salah satu kesalahan besar yang memudahkan terjadi disintegrasi Indonesia.
Dan kemudian ini tugas angkatan muda untuk membenahi semua ini. Ada keberaniaan untuk membenahi jangan belagak pikun ya?
Saya sendiri tidak setuju dengan federasi, tetapi otonomi luas, seperti juga diperingati Bung Karno “sekarang ini adalah abad campur tangan asing dan federasi memudahkan campur tangan asing”. Apalagi tidak dimanage sebagai negara maritim, Saya masih pas dengan negara kesatuan, ya terserah itu pendapat pribadi Saya.
Sekarang tentang demokrasi. Masalah kita adalah masalah demokrasi. Sumbernya adalah revolusi Perancis, seluruh dunia menimba dari revolusi Perancis, seluruh negara Barat negara-negara demokrasi. Tetapi apa yang diperbuat oleh negara-negara demokrasi di luar negerinya, penjajahan dan penghisapan. Jadi Demokrasi Barat tidak sepenuhnya demokratis. Itu baru demokratis kepentingan. Sebab dalam 300 tahun lamanya negara-negara Utara menjadi makmur karena dimakmurkan oleh negara-negara Selatan.
Saya dalam keliling belakangan ini, melihat betapa indahnya hutan di Amerika Serikat dan Kanada, hutan dan kota berpeluk-pelukkan. Tapi apa yang diperbuat Amerika dan Kanad, hutan Indonesia dilumat menjadi kertas, bubur kertas. Banyak pembunuhan terjadi. Pembunuhan massal 1965-66, pembunuhan sampai sekarang ini dikecam juga oleh negara-negara Utara, tetapi siapa yang memasok senjata yang memungkinkan pembunuhan juga dari Utara. Bagaimana kita harus mengatakan? Itu sebabnya pada angkatan muda Saya serukan supaya siap-siap memasuki millenium ketiga dan mengubah kehidupan dan hubungan luar-negeri lebih manusiawi, buka seperti sekarang. Itu tugas angkatan muda sekarang, jangan pura-pura goblok.
Karena demokrasi di Indonesia kalau bisa meraih kedaulatan manusia, kedaulatan pribadi. Karena kita ini masih hidup dalam budaya panutan. Budaya panutan itu biar satu orang yang berfikir yang lain ikut saja. Jadi belum dimulai budaya individual, masih budaya kelompok. Soekarno pernah mengatakan “setiap kemajuan diraih bukan oleh kelompok tetapi oleh individu” itu Soekarno mengatakan.
Dan sebagai contoh budaya panutan ini, kita mengenal Suwardi Soerjaningrat menguba namanya Ki Hadjar Dewantara, bukan maksudnya merendahkan beliau, tetapi memproklamasikan diri pendeta perantara para dewa. Ini adalah budaya panutan. Jadi dia memproklamasikan diri untuk dianut oleh orang lain. Tetapi jeleknya budaya panutan kalau dalam keadaan kritis sang panutan hanya menjawab yang mengikuti yang menanggung. Itu jeleknya.
Jadi ini supaya ditumbuhkan budaya individu, bukan budaya panutan, saya kira cukup jelas toh.
Dan sekarang dalam kehidupan kita ini pertentangan Timur-Barat sudah tidak ada yang ada sekarang adalah Utara-Selatan. Ini saya minta menjadi pikiran, dan dicarikan jalan keluar, supaya hubungan Utara-Selatan lebih manusiawi, bukan seperti sekarang ini
Saya kira cukup sekian dulu.
Terimakasih Banyak
sumber : www.radix.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar