Oleh Beni Hernedi
Konsep masyarakat madani pada era 90-an sempat mencuat ke permukaan. Bahkan di tahun 2000-an term isu masyarakat madani masih mengeliat seiring dengan kompleksitas masalah yang menyertainya. Namun dari sebagian perbincangan masyarakat madani cenderung pada tataran retoris, sehingga kalimat ‘madani’ itu sendiri tidak menciptakan warna baru dalam tatanan kehidupan masyarakat, baik dalam konteks fisik maupun esensi.
Kalau kemudian kalimat madani ini dinisbahkan dalam konteks sekarang, adalah tujuan ideal dari sebuah negara, dimana dalam negara itu terdapat sebuah sistem yang teratur, demokratis dan saling harga menghargai antar sesama umat (bukan hanya satu agama saja), melainkan multi etnik dan multi kultur.
Konsep masyarakat madani menurut saya sangat relevan jika kemudian menjadi acuan bagi tatanan negara Indonesia. Sebab, madani itu sendiri menurut hemat saya terkandung makna yang sangat kompleks yang secara langsung atau tidak berhubungan dengan realitas bangsa Indonesia.
Didalam kalimat madani, menurut saya ada semangat demokratisasi, keadilan, pemerataan dan toleransi terhadap pluralitas etnik dan agama. Dengan pemaknaan seperti ini, Indonesia merupakan bentuk nyata dari negara yang mau tidak mau menerapkan konsep madani itu. Sebab Indonesia merupakan bangsa yang dihuni oleh pluralitas etnik, golongan, agama, dan bahasa. Dengan menerapkan konsep ‘negara madani’ di masa mendatang Indoensia akan menjadi negeri yang adil, merata, sejahtera dan demokratis.
Untuk menuju kearah negara madani, menurut saya ada lima elemen penting yang sejak hari ini harus mulai digulirkan, meskipun, lima elemen ini terkesan klise tetapi dalam konteks kekinian memerlukan pembaruan dalam impelemntasinya.
Pendidikan.
Pendidikan, menurut saya menjadi pangkal tolak bagaimana bangsa ini akan menjadi bangsa yang bermartabat. Pendidikan yang saya maksud bukan sebatas pemenuhan pesan materi dari guru kepada seorang peserta didik, melainkan pendidikan yang akan membentuk karakter anak didik menjadi sosok yang memiliki integirtas, mental yang kuat dan mampu mempertahankan harga diri, baik secara pribadi maupun dalam konteks kebangsaan.
Menurut saya, konsep pendidikan yang saya sebut tadi sampai hari ini masih sangat jauh dari harapan, karena yang terjadi selama ini, pendidikan terkesan rutintas atau sekadar gugur kewajiban dan tidak memiliki pertanggungjawaban moral terhadap peserta didik.
Guru sebagai sosok yang digugu dan ditiru (dituruti perintahnya dan menjadi tauladan ) dalam era sekarang seakan sudah demikian tercerabut, sehinga wibawa seorang guru menjadi bias oleh kekurangajaran sebagian peserta didik.
Pendidikan yang saya maksud, tentu bukan hanya menjadi tanggungjawab guru, sebab selain pendidikan formal dalam teori pendidikan juga dikenal dengan pendidikan keluarga dan luar sekolah (lingkungan). Kalau kemudian dipersentasekan,, sekolah disebut Slameto, salah satu pengamat Pendidikan Indonesia, 80 % peserta didik akan selalu berhubungan dengan keluarga. Sementara sisanya di sekolah dan di lingkungan tempat peserta didik itu bergaul dan bermain.
Namun demikian, tiga lembaga pendidikan ini tetap saja akan selalu saling pengaruh mempengaruhi. Bahkan bisa dikatakan lingkungan memiliki pengaruh yang sangat kuat dari pada sekolah dan keluarga.
Tetapi, jika penanaman nilai-nilai moral sudah diawali dari keluarga, lingkungan dan sekolah tidak akan terlalu mempengaruhi perkembangan seorang peserta didik. Kalaupun kemudian terpengaruh tidak akan separah anak yang sama sekali tidak mendapat bimbingan dari keluarga sejak awal. Oleh sebab itu, dalam upaya membentuk generasi yang akan mewujudkan bangsa madani, pendidikan yang berkualitas dari keluarga, sekolah dan lingkungan menjadi hal yang perlu dikedepankan.
Dalam bidang pendidikan, satu hal penting lainnya yang saat ini terasa terabaikan adalah pendidikan budi pekerti. Di tahun 80-an kita mengenal dengan Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Kemudian sekarang berubah menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (PPKn). Sejumlah pihak menilai, pendidikan budi pekerti sudah masuk dalam pelajaran PPkn. Tetapi yang menjadi pertanyaan adalah budi pekerti yang model apa, jika ternyata dalam kenyataannya sejumlah peserta didik saat ini banyak yang sudah tidak lagi menghargai dan menghormati guru, bahkan yang lebih parah tidak menghirmati orang tua sendiri?
Menurut saya, guna menciptakan bangsa yang madani dalam makna yang luas, pendidikan budi pekerti di sekolah tetap menjadi hal pening untuk tetap diterapkan, sekalipun pendidikan keluarga sudah memulainya. Sebab, dengan pendidikan budi pekerti inilah kualitas anak didik bukan hanya dalam dimensi intelektual semata, tetapi juga dalam dimensi spiritual (agama) dan kecerdasan sosial.
Kesehatan
Bidang Kesehatan, berhubungan dengan upaya peningkatan kualitas generasi menuju bangsa madani, selain pendidikan adalah bidang kesehatan. Pentingnya menjaga kesehatan dalam setiap generasi bangsa berhubugan erat dengan penanaman nilai-nilai kesadaran gizi dari keluarga. Sebab, mau tidak mau pola makan dengan keseimbangan gizi juga akan sangat berpengaruh pada pertumbuhan syaraf dan kecerdasan otak bagi setiap peserta didik.
Adanya fasilitas pendidikan yang standar, guru yang berkualitas tetapi tidak didukung oleh pola makan yang memenuhi standar gizi juga akan menghambat proses pengembangan mentalitas peserta didik di sekolah, dari SD sampai di tingkat perguruan tinggi sekalipun.
Menghadapi hal ini, selain fasilitas pendidkan yang memadai, di masa mendatang diperlukan satu pengelolaan anggaran pendidikan yang dialokiasikan untuk asupan gizi bagi setiap anak sekolah, baik berupa makanan tambahan, susu atau jenis gizi lainnya.
Selama ini yang terlihat, tambahan gizi hanya dilakukan di sejumlah Puskesmas, Posyandu bagi sejumlah bayi dan balita. Usai masuk ke sekolah, hampir dikatakan tidak ada lagi suplai asupan gizi bagi setiap anak didik. Kalaupun ada hanya akan sekali-sekali saja tanpa ada ketraturan yang terjadwal secara rutin.
Padahal, masa pertumbuhan otak tidak berhenti sampai usia anak masuk sekolah saja. Bahkan pada usia sekolah inilah seorang peserta didik memelrukan tambahan gizi yang maksimal, sehingga tujuan menciptakan generasi yang sehat dan cerdas benar-benar dapat terwujud.
Pemberdayaan Perempuan
Mendorong terciptanya bangsa madani, tidak bisa lepas juga dari pemberdayaan perempuan. Maksudnya pola pikir masyarakat yang masih menomorduakan seorang perempuan harus segera dikikis habis, meski secara perlahan.
Sebab cara pandangan sebagian masarakat yang masih menempatkan kaum perempuan (baik ibu, adik, saudara, tetangga dan lainnya) menjadi mahluk nomor dua telah mengakibatkan sejumlah kaum perempuan tidak bisa berperan langsung dalam proses pembangunan secara nyata, sebagaimana laki-laki.
Padahal jika kembali ke sejarah, peran kaum perempuan sangat besar. Pertama; semua mahluk dimuka bumi ini dilahirkan dari seorang perempuan. Dari sana, maka lahir generasi penerus seperti kita. Jadi jelas peran seorang perempuan telah membentuk dan mewarnai dinamika zaman. Lahirnya generasi bangsa yang unggul dan pinunjul (cerdas), kreatif, penuh inisiatif, bermoral tinggi, bervisi kemanusiaan, yang memiliki semangat kerja, dan berwawasan luas, tidak luput dari sentuhan peran seorang perempuan.
Bahkan dalam konteks keluarga, seorang perempuan (Ibu-red) orang yang pertama kali yang memperkenalkan, menanamkan dan mengakarkan nilai-nilai agama, budaya, moral, kemanusiaan. pengetahuan, dan keterampilan dasar, serta nilai-nilai luhur lainnya kepada seorang anak.
Dalam Islam diajarkan, kalau ibu atau isteri kita sedang hamil maka banyak-banyaklah membaca al-quran dan berbuat baik. Menurut saya, ini adalah pesan moral pertama yang dilakukan oleh seorang perempuan yang sedang mengandung calon generasi bangsa yang tidak bisa dilakukan seorang Bapak.
Oleh karena itu, perempuan dalam hal ini seorang ibu, menurut saya adalah guru pertama sejak kita dalam kandungan. Maka saya berani menyebut, kalau peran perempuan saat ini saat ini sudah menjadi sosok pencerah peradaban atau penerang bagi zaman. Perempuan adalah pusat pembentukan nilai kebaikan, atau boleh juga disebut pengawal arti dan makna kehidupan, dan ini tak seorang pun yang dapat menyangkalnya.
Tetapi harus diakui, seiring gerak roda peradaban kehidupan, peran perempuan sebagai pencerah banyak berhadapan tantangan yang semakin berat. Menurut saya, setidaknya ada dua tantangan mendasar yang harus dihadapi seorang perempuan di tengah dinamika peradaban global seperti sekarang.
Pertama, tantangan internal (dari dalam) lingkungan keluarga yang harus tetap menjadi sosok perempuan yang lembut, penuh perhatian dan kasih sayang, serta penuh sentuhhan cinta yang tulus kepada suami dan anak-anak. Kedua, tantangan eksternal (dari luar) yaitu gangguan dari luar rumah tangga kita. Saat ini anak-anak kita sudah kenal dengan ragam informasi, yang bisa dilihat dengan cara cepat melalui internet. Ini juga tantangan berat bagi seorang ibu dan orang tua pada umumnya.
Dalam menyikapi dan menyiasati dua tantangan mendasar itu, seorang perempuan, atau seorang ibu jelas dituntut untuk semakin memaksimalkan perannya, memberdayaakan potensi dirinya sehingga mampu tampil secara seimbang antara perannya sebagai seorang ibu, dan sebagai pengawal peradaban, termasuk melakukan kontrol kepada putra-putrinya, baik ketika ia di dalam maupun diluar rumah. Ini artinya, fitrah seorang perempuan tidak hanya berfungsi dalam lingkup dalam keluarga yang disebut banyak orang ; sumur, dapur kasur saja, tetapi juga peran ibu harus ditebarkankan pada peran yang lebih luas, seiring dengan semakin banyaknya masalah dan tantangan zaman seperti sekarang.
Pluralisme
Sudah menjadi kenyataan, kalau bangsa ini dihuni oleh multi etnis, golongan bahkan agama sekalipun. Termasuk juga di wilayah Kabupaten Muba, juga dihuni oleh ragam etnis, golongan dan agama. Dengan ragam perbedaan ini sudah seharusnya menjadi kekayaan budaya, sehingga dengan perbedaan ini dapat menjadi pemacu pembangunan yang lebih mengedepan dan komprehensif.
Mengutip pakar Komunikasi Indonesia, Jalaludin Rahmat, salah satu ciri manusia moderen adalah bisa menerima pluralitas (perbedaan). Bahkan dalam kajian agama, Tuhan mempertemukan manusia juga disebabkan adanya perbedaan, seperti halnya dalam pernikahan. Kenapa dipertemukan antara laki-laki dan perempuan? Jelas karena adanya perbedaan jenis kelamin. Begitulah indahnya pebedaan. Oleh sebab itu yang senantiasa kita bangun bukan titik perbedaannya tetapi titik persamaannya.
Kesadaran yang mesti diciptakan dalam menghadapi perbedaan ini adalah bagaimana memandang seseorang bukan karena status sosialnya, tetapi mengedepankan nilai-nilai kemanusiannya. Status sosial antara pejabat dan rakyat tidak harus menjadi jarak dalam pergaulan. Sebab logikanya, adanya bupati karena ada rakyat. Adanya pemimpin karena ada yang dipimpin. Hukum sebab akibat (kausalitas) seperti ini yang seharusnya disadari oleh kita, sehingga segala bentuk perbedaaan status sosial, kaya dan miskin, suku yang berlainan, agama yang tidak sama bukan menjadi penghalang dalam memacu pembangunan di Muba, melainkan dijadikan modal dasar dalam tukar menukar informasi dan budaya, dalam arti perpaduan dua kelompok menjadi satu irama yang harmonis dalam mewujudkan bangsa yang madani.
Ekonomi kreatif
Persoalan penting lainnya untuk menuju bangsa madani adalah semangat berwirausaha, terutama dikalangan muda. Masa muda adalah usia produktif yang seharusnya dimanfaatkan untuk menciptakan kualitas diri yang bisa mandiri, tidak selalu bersandar pada kehebatan orang tua. Sebab dalam sebuah syair dikatakan ; bukanlah seorang pemuda yang bisa berkata itu ayah saya. Tetapi seorang pemuda adalah yang mampu berkata inilah saya.
Syair ini sisniran bagi sebagian kalangan muda yang sebagian masih mengandalkan kehebatan ayahnya, nenek moyangnya atau saudaranya. Bukan tidak mungkin terjadi, karena ayahnya seorang pejabat kemudian sang anak bisa melenggang menjadi pejabat juga. Menurut saya ini bukanlah kemandirian seorang pemuda, sebab kehebatan sang anak sangat dipengaruhi oleh posisi ayahnya di kursi kekuasaan.
Dengan kata lain, ketangguhan dan kualitas seorang pemuda bukan ditentukan tingginya jabatan ayahnya melainkan bagaimana mencipatakan kualitas diri dengan caranya sendiri yang positif, sehingga dengan cara ini akan membangun kepercayaan masyarakat, termasuk bagaimana menciptakan usaha ekonomi kreatif dari hal-hal yang sederhana, menjadi sesuatu yang bermakna.
Oleh sebab itu, ditengah persaingan peluang kerja yang sempit, upaya mencipatakan usaha ekonomi kreatif dengan segala fasilitas yang ada menjadi satu hal peting untuk dikededepankan. Kita masih ingat betapa seorang Soekarno pernah membakar semangat kaum muda untuk selalu menjadi kelompok terdepan dalam melakukan perubahan? Dalam konteks kekinian, kebangkitan orang muda menjadi keharusan yang tidak bisa tidak harus maju dan maju.
Berpangku tangan di dalam rumah, nongkrong-nongkrong di sebuah kantor tanpa kegiatan bermanfaat, menjadi sesuatu yang mubadzir dan membuang usia produktif. Akibatnya adalah, sebagian kaum muda kita menjadi generasi pengekor, dan bukan generasi polopor.
Dari kenyataan ini muncul pertanyaan, apa yang bisa diperbuat dengan segala keterbatasan kalangan muda? Kalau kita mengutip filsafat Jawa ; Kemlawe-Kemlamet (siapa yang bergerak pasti bisa makan). Dengan kata lain kalau kita mau melakukan sesuatu, segala hal yang kita niatkan Insya Allah bisa terwujud. Masalahnya kemudian bagaimana kita harus memulai membuang kemalasan.
Ada banyak hal yang bisa dilakukan kalagan muda untuk membangun ekonomi kreatif. Kalau sebuah batok kelapa saja bisa bernilai uang setelah dibuat souvenir, kenapa kita tidak mau memulainya? Ini hanya salah stau contoh kecil yang bisa diperbuat untuk sesuatu yang sebelumnya barang terbuang tetapi menjadi yang bermanfaat dan punya nilai jual? Masih banyak contoh lain potensi di Muba yang bisa dikembangkan selain batok kelapa.
Tetapi, sebagian kalangan muda sering kali memilih berpangku tangan dan menunggu peluang kerja, sehingga sebagian kita menjadi ‘penunggu’ lowongan kerja tanpa berbuat sesuatu yang bermanfaat, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.
Jika kalangan muda dengan segala potensinya bisa bangkit dan menciptakan kreasi yang memiliki nilai jual, jumlah penganguran, kemiskinan di Muba secara perlahan akan segera berkurang. Jika ini bisa dilakukan, proses pengembangan ekonomi kreatif menuju bangsa madani akan terwujud, selama kita komitmen mau melakukannya. Sekarang tinggal kita, mau atau tidak memulainya?**
Sebagaimana ditulis/dimuat di www.dapunta.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar