Ekses paling nyata dari menguatnya peranan partai politik dan parlemen pascareformasi adalah permusyawaratan transaksional. Tanpa bermaksud menggeneralisasi, ada saja di antara anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terlibat transaksi politik berbau uang saat bermusyawarah menjalankan fungsi utama mereka, yaitu anggaran, legislasi, dan pengawasan.
Maraknya transaksi politik dibungkus uang itu seperti menafikan cita-cita awal Bung Karno saat menjelaskan sila keempat Pancasila dalam sidang Badan Penyelidik Upaya Kemerdekaan Indonesia, 1 Juni 1945. Seperti termuat dalam situs http:// www.gentasuararevolusi.com yang dikelola cucunya, M Prananda Prabowo, Bung Karno berkata:
”...Kemudian, apakah dasar yang ketiga? Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara ”semua buat semua”, ”satu buat semua, semua buat satu”. Saya yakin syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan perwakilan.”
Apakah cita-cita itu tercapai sekarang? Tampaknya belum. Hal itu dapat dilihat dari sisi pelaksanaan ketiga fungsi parlemen tersebut apakah politikus di parlemen benar-benar bisa mewujudkan ”bukan negara untuk satu orang, bukan negara untuk satu golongan”.
Dari sisi fungsi anggaran, dengan kewenangan anggaran yang mereka miliki, sebagian politikus justru memanfaatkan kewenangan itu untuk menyusun anggaran untuk diri sendiri.
Berbagai usulan anggaran yang kontroversial adalah pembangunan gedung baru DPR yang menelan dana Rp 1,8 triliun, usulan dana aspirasi Rp 15 miliar per politikus per tahun, dan anggaran untuk rumah aspirasi Rp 2,7 triliun untuk tahun 2011. Sebelumnya, Dewan Perwakilan Daerah juga mengajukan anggaran untuk rumah aspirasinya sebesar Rp 30 miliar untuk tiap provinsi pada tahun 2010 ini.
Sebagian anggota DPR bukannya tak sadar akan potensi penyelewengan yang mereka lakukan karena kewenangan yang tinggi itu. Sejumlah anggota DPR periode 2004-2009 yang dimotori Ketua Badan Kehormatan DPR waktu itu, Slamet Effendy Yusuf, politikus Partai Golkar, pada 7 Juli tahun 2006 pernah menandatangani Pakta Integritas.
Dalam pakta itu antara lain disebutkan, ”Saya, Slamet Effendy Yusuf, anggota DPR RI dalam rangka berpartisipasi memperbaiki masa depan kehidupan bangsa, menyatakan sebagai berikut: Menggunakan segala potensi yang saya miliki untuk proaktif mencegah terjadinya korupsi dan praktik suap di DPR RI dan tak melibatkan diri dalam perbuatan tercela,” demikian satu butir dari enam butir isinya.
Namun, apa yang terjadi? Masih dalam periode DPR 2004-2009 sejumlah anggota DPR tersangkut kasus korupsi. Sejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dilahirkan melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, akhirnya terkuak praktik yang sebelumnya ini menjadi kasak-kusuk rahasia umum di parlemen, yaitu percaloan anggaran dan penggunaan anggaran untuk memperkaya diri sendiri.
Litbang Kompas mencatat sedikitnya ada 13 anggota DPR periode 2004-2009 yang disidang karena kasus suap saat mereka menjadi anggota DPR. Mereka berasal dari sejumlah partai politik, seperti Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Bulan Bintang.
Kasus-kasus itu adalah suap terkait pengalihan fungsi hutan lindung di Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau; suap terkait alih fungsi hutan mangrove untuk Pelabuhan Tanjung Api-api di Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan; dan suap terkait pembelian kapal patroli di Direktorat Jenderal Perhubungan Laut. Kasus lain yang tidak terkait fungsi anggaran adalah suap dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Tahun 2004.
Di DPRD, baik provinsi maupun kabupaten dan kota, sama saja. Litbang Kompas mencatat, pada periode 2006-2009 ada 32 politikus di DPRD disidangkan karena kasus korupsi. Hampir semuanya diduga mengorupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Dari sisi fungsi legislasi, DPR seperti menelan ludah sendiri. Mereka membuat target penyusunan, tetapi tidak dapat menepatinya sendiri. Sejak 2005, realisasi legislasi DPR belum pernah mencapai target. Memasuki pertengahan 2010, DPR hanya sanggup memenuhi 10 persen dari target yang telah ditetapkan.
Banyaknya undang-undang yang diuji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) menunjukkan bahwa undang- undang tersebut belum mencerminkan kehendak rakyat. Tahun 2010 ini, sedikitnya MK menerima permohonan uji materi 10 undang-undang buatan periode 2002-2009.
Sejumlah indikasi suap—atau paling tidak pembahasan di hotel-hotel mewah—dalam penyusunan undang-undang juga pernah dikemukakan di media massa. Namun, belum pernah terungkap ke permukaan dan terbukti ada suap dalam penyusunan undang-undang tersebut.
Saat menjalankan fungsi pengawasanlah DPR terlihat paling getol. Kasus Bank Century adalah contohnya. Namun, sekali lagi, kesan transaksional sulit dihindari dari penyelesaian kasus tersebut.
Sejumlah partai politik yang awalnya menggebu-gebu, tiba-tiba mengendor setelah terbentuk Sekretariat Gabungan Koalisi Partai Politik Pendukung SBY-Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani ”dibuang” ke Amerika Serikat menjadi Direktur Bank Dunia.
Lalu apa?
Fakta-fakta lembaga perwakilan yang cenderung menjadi permusyawaratan transaksional di atas memberi pelajaran apa? Akar masalah dari lembaga perwakilan yang belum sesuai sila keempat Pancasila itu mesti dirunut dari partai politik.
Transaksi dalam setiap pemilihan pemimpin partai di setiap tingkatan tidak bisa dihindarkan. Individu yang secara finansial kuat atau memiliki koneksi kuat dengan usahawan yang akhirnya mampu menjadi pemimpin partai.
Transaksi juga berlangsung dalam pemilihan umum, termasuk pemilu kepala daerah. Calon harus mengeluarkan miliaran rupiah untuk menyetor ke partai politik pengusung dan belanja kampanye. Hanya orang kaya dan politikus yang punya koneksi dengan usahawan yang mampu ikut pemilu kepala daerah.
Adakah solusi agar politikus tidak terjerat dalam lingkaran setan transaksi ini? Sejumlah partai politik mulai mencoba untuk memperbaiki sistem perekrutan calon politikus yang berintegritas dan tidak korup ini.
PDI-P, dalam Kongres III di Bali, April 2010, memasukkan ketentuan di anggaran dasar/anggaran rumah tangga (ART). Dalam Pasal 7 ART PDI-P, misalnya, disebutkan, ”Anggota partai dilarang menerima atau memberi uang atau materi lainnya dari orang-perorangan atau instansi dari dalam maupun luar partai untuk kepentingan pribadi yang dapat merugikan citra partai”.
Rapat Koordinasi Nasional PDI-P di Sentul, Bogor, Jawa Barat, Agustus 2010, juga menetapkan sanksi pemecatan dan pengembalian uang dua kali lipat bagi kader struktural yang menerima suap.
PDI-P bisa dijadikan contoh sebagai partai politik yang suaranya turun drastis sehingga tinggal 14,6 persen pada Pemilu 2009, sejak kemenangan spektakuler pada Pemilu 1999 dengan 33 persen. Ketidaksiapan menyiapkan calon politikus menghadapi Pemilu 1999—sehingga sebagian perilaku politikusnya korup— menyebabkan citra partai ini memudar di mata pemilih. Hingga pada DPR periode 2004-2009, masih ada politikusnya yang terlibat kasus suap.
PDI-P sekarang kesulitan untuk mengembalikan semangat voluntarisme, ketika rakyat ikut ”membiayai” kampanye PDI-P, sehingga memenangi Pemilu 1999. Semangat voluntarisme itu yang hilang sekarang, bahkan hampir di semua partai politik.
Masih ada waktu untuk melakukan perubahan total menyambut Pemilu 2014. Seperti direkomedasikan diskusi dan liputan manajemen partai politik Kompas pada Maret 2010, partai politik perlu membenahi berbagai aspek dari manajemen strategis, sumber daya manusia, keuangan, dan manajemen pemasaran politiknya.
Lebih dari itu, yang mungkin perlu kembali dikembangkan adalah menumbuhkan kesadaran berpolitik sebagai panggilan, seperti dikemukakan sosiolog Max Weber (1864-1920), tidak sekadar berpolitik untuk mendapatkan uang.
...........hasil tulisan Subur Tjahjono/http://cetak.kompas.com/read/2010/08/13/02393380/partai.politik..dan.demokrasi.transaksional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar