Pemilu legislatif diselenggarakan berdasar UU No. 10/2008. Namun sesungguhnya substansi undang-undang tersebut sudah diubah total oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Akibat penafsiran sepotong-sepotong, desain pemilu jadi tidak jelas!
Dalam memahami bagaimana pemilu bekerja, maka kita bicara soal sistem pemilu, yaitu sistem yang mengkonversi suara menjadi kursi. Dalam hal ini kita bicara soal daerah pemilihan, metode pencalonan, metode pemberian suara, dan formula perolehan kursi dan penetapan calon terpilih.
Unsur-unsur atau variabel-varibel teknis pemilu itulah yang menentukan, bagaimana suara rakyat diubah mejadi kursi yang akan diduduki oleh calon-calon terpilih.
Hubungan antara yang satu dengan yang lain saling terkait, sehingga membentuk satu sistem pemilu. Perubahan terhadap satu variabel akan berdampak pada variabel lain dan tentu saja berpengaruh terhadap hasil pemilu.
UU No. 10/2008 telah mengatur itu semua, dengan segala implikasinya terhadap hasil pemilu. Harus diakui, pengaturan variabel-varibel teknis pemilu tersebut memang kurang lengkap, kurang jelas, bahkan menimbulkan multitafsir. Namun, secara umum bisa dijalankan, karena tugas KPU untuk mengatasinya.
Namun, sepanjang penyelenggaraan Pemilu Legislatif ini, kita menyaksikan MK membuat banyak putusan yang mengubah substansi undang-undang. Lembaga ini tidak sekadar menyatakan satu pasal batal (karena dinilai bertentangan dengan konstitusi), tetapi juga memproduksi peraturan-peraturan baru.
Mari kita mulai membahasnya dari daerah pemilihan. MK memang tidak mengubah pasal-pasal ini, meskipun banyak sekali masalahnya. Mungkin karena tidak ada pihak yang mempersoalkan, jadi MK tidak mengutak-atik varibael daerah pemilihan.
Namun dengan putusan terakhir (yang membenarkan penghitungan kursi versi KPU berdasar Peraturan KPU No. 15/2009, dan menyalahkan putusan MA yang menilai Peraturan KPU tidak sesuai UU No. 10/2008), berarti MK mengabaikan prinsip adanya daerah pemilihan.
Adanya daerah pemilihan, berarti sistem pemilu menghendaki perolehan kursi dihitung habis di setiap daerah pemilihan. (Oleh karena itu UU No. 10/2008 yang menarik sisa suara daerah pemilihan ke provinsi sesungguhnya menyalahi prinsip ini).
Makanya agak aneh, kalau kemudian MK menerima dalih bahwa putusan MA menyalahi prinsip pemilu proporsional, karena jika putusan itu diterapkan maka proporisonalitas suara partai dengan kursi yang diperoleh akan semakin senjang.
Tentu saja betul argumen MK ini, dengan catatan apabila pemilu kali ini tidak mengenal daerah pemilihan. Seperti pemilu di Belanda dan Israel daerah pemilihan bersifat nasional, sehingga persentase perolehan kursi nasional (DPR) sama persis dengan persantase perolehan suara nasional.
Ini berbeda dengan pemilu di sini. Untuk memilih DPR terdapat 77 daerah pemilihan. Proporsionalitas mestinya dihitung di setiap daerah pemilihan, bukan nasional, seperti diyakini MK. Karena perolehan kursi dihitung di setiap daerah pemilihan, yang wajar saja tidak akan tercapai proporsionalitas murni secara nasional.
Kalau mau konsisten dengan pertimbangan MK dalam memutus perkara ini, mestinya pemilu yang akan datang tidak perlu adanya daerah pemilihan. Cukup satu daerah pemilihan nasional, seperti Pilpres.
Dengan demikian, partai akan menyusun daftar calon tunggal, yang terdiri dari calon nomor 1 sampai nomor 550.
Setelah perolehan suara masing-masing partai, maka tinggal mengkonversikan dengan kursi berdasarkan angka kuota suara untuk satu kursi. Jika partai mendapat 50 kursi, yang jadi yang calon terpilih ya nomor urut 1 sampai 50. Itu kalau kita memakai daftar calon tertutup, yang oleh MK dianggap tidak demokratis.
Nah, bila daftar calon terbuka dipertahankan (seperti kehendak putusan MK yang lain), ya pemilih akan menghadapi berlembar-lembar surat suara yang berisi daftar nama calon seluruh partai, seluruh Indoneisa.
Selain merusak prinsip daerah pemilihan, MK juga mengacaukan metode pencalonan. Tanpa undang-undang, MK mendesak KPU menetapkan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak.
Dengan meminta semua pihak menafsirkan Pasal 204 ayat (4) UU No 10/2008 sesuai dengan penafsirannya, MK sudah mengabaikan prinsip pembagian daerah pemilihan.
Seperti kita ketahui, sejak Pemilu 2004 pemilihan anggota DPR berbasiskan pada daerah pemilihan. Ini berbeda dengan pemilu-pemilu Orde Baru dan Pemilu 1999, di mana calon dipilih berdasarkan provinsi. Tujuan dari pemilihan berbasis daerah pemilihan adalah untuk meningkatkan akuntabilitas calon terhadap konstituennya.
Oleh karena itu, kursi mestinya habis dibagi pada setiap daerah pemilihan. Itu artinya proporsionalitas perolehan suara dibandingkan dengan kursi, mestinya juga dihitung berdasar daerah pemilihan.
Namun dalam hal ini MK berpandangan lain: proporsionalitas harus dihitung secara nasional. Makanya, terhadap putusan MA tentang Peraturan KPU No. 15/2009, MK KPU mengabaikannya. Soalnya, jika putusan MA itu diterapkan, proporsionalitas perolehan suara dibandingkan kursi masing-masing partai secara nasional akan senjang.
Ya, tentu saja. Karena perolehan kursi dihitung berdasarkan perolehan suara setiap partai pada setiap daerah pemilihan. Bukan berdasarkan perolehan partai secara nasional.
Jadi, MK telah mengacaukan prinsip penerapan daerah pemilihan, yang merupakan variabel teknis pemilu pertama. Bagaimana dengan variabel teknis kedua, yakni metode pencalonan?
Sama dengan daerah pemilihan, terhadap metode pencalonan, tidak ada putusan khusus dari MK. Namun, akibat putusannya yang mengabulkan penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak, MK sesungguhnya telah mengubah konstruksi metode pencalonan dalam UU No. 10/2008.
Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 berbunyi, ”Peserta pemilu untuk memilih anggota DPR dan anggota DPRD adalah partai politik.” Itu artinya partai politiklah yang mengajukan daftar calon anggota DPR dan DPPRD.
Pasal 55 ayat (1) UU No 10/2008 mengatur bahwa daftar calon disusun partai berdasarkan nomor urut. Itu artinya, partai politik mempunyai preferensi untuk memilih calonnya. Maksudnya, mereka yang nomor urut ataslah yang lebih dikehendaki oleh partai untuk menjadi calon terpilih.
Namun, pasal tersebut menjadi tidak berarti, ketika MK mengabulkan penghapusan Pasal 214 yang memprioritaskan calon nomor urut kecil, jika di antara calon tidak ada yang meraih suara 30% dari BPP. Artinya, ketika MK minta calon terpilih ditetapkan berdasarkan suara terbanyak, prinsip nomor urut tidak berlaku.
Cilakanya, ketika menghapus Pasal 214, MK tidak menghapus Pasal 55 ayat (1), dan juga tidak menghapus Pasal 176 UU No. 10/2008, yang masih memperkenankan pemilih mencontreng gambar partai politik.
Yang jadi pertanyaan, kalau gambar partai politik memperoleh suara terbanyak dibandingkan dengan suara tiap-tiap calon, lalu siapa yang meraih kursi? Logikanya, Pasal 55 ayat (1) masih berlaku, sehingga partai akan menunjuk calon terpilih berdasarkan nomor urut.
Tapi MK bersikeras, calon terpilih adalah peraih suara terbanyak. Ekstremnya, kalau hanya ada satu calon yang memperoleh satu suara sementara calon-calon lain tidak meraih suara, maka calon itulah yang dapat kursi, meskipun hampir semua suara diberikan partai politik.
KPU sempat mempetimbangkan masalah ini. Namun MK instruksinya jelas: jalankan putusan suara terbanyak! KPU tak berkutik, meskipun MK tidak memiliki dasar konstitusional untuk membikin peraturan.
Putusan MK yang memaksa KPU menetapkan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak, merugikan pemilih yang memilih partai. Padahal MK tidak menghapus ketentuan bahwa pemilih boleh memberikan suara kepada partai.
Dengan pemahaman sepotong-potong tentang sistem pemilu, putusan MK telah mengabaikan prinsip-prinsip pembagian daerah pemilihan dan pencalonan anggota DPR dan DPRD. Bagaimana dengan eksistensi variabel teknis metode pemberian suara dalam sistem pemilu sebagaimana dikehendaki oleh UU No 10/2008?
Sekali lagi, tidak ada pihak yang menyoal masalah ini. Pasal 176 ayat (1) UU No. 10/2007, menyatakan bahwa dalam pemilu anggota DPR dan DPRD, suara dinyatakan sah apabila: pemberian tanda satu kali pada kolom partai, atau kolom nomor partai, atau kolom nama calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
Ketentuan tersebut sejalan dengan ketentuan variabel teknis formula perolehan kursi serta penetapan calon terpilih. Pasal 214 UU No. 10/2008 mengatur, bahwa calon terpilih diprioritaskan bagi calon yang meraih lebih dari 30% BPP (bilangan pembagi pemilih, atau kuota suara untuk satu kursi). Jika tidak ada calon yang memperoleh lebih dari 30% BPP,
maka calon terpilih ditentukan berdasarkan nomor urut.
Itulah sebabnya, dalam pemberian suara pemilih diperkenankan memilih kolom partai atau gambar partai. Sebab, dengan memilih partai, pemilih berarti setuju dengan pilihan calon berdasarkan nomor urut yang diajukan oleh partai.
Namun, MK telah menghapus Pasal 214 dan menyatakan tidak berlaku lagi dalam penyelenggaraan Pemilu Legislatif 2009. Menurut MK, cara paling demokratis untuk menetapkan calon terpilih adalah berdasarkan suara terbanyak.
Oleh karena itu, meski UU 10/2008 tidak direvisi atau tidak ada Perppu, khususnya untuk menggantikan penghapusan Pasal 214, MK mendesak KPU untuk membuat peraturan yang menetapkan bahwa calon terpilih ditentukan berdasarkan suara terbanyak. Permintaan MK inilah yang diakomodasi oleh KPU melalui Peraturan KPU No 15/2009.
Selain tiadanya pijakan hukum dari Peraturan No 15/2009 (menurut UU No 10/2003, putusan MK bukanlah bagian dari hirarki hukum dalam pembuatan peraturan perundang-undangan), masalah pokoknya adalah pada saat MK meminta calon terpilih ditentukan berdasarkan suara terbanyak, pada saat yang sama MK tidak menghapus ketentuan Pasal 176 ayat (1) UU No 10/2008, khususnya tentang pemberian tanda pada kolom partai.
Itu artinya, pemilih masih dibolehkan memilih partai politik dengan asumsi pemilih setuju dengan daftar calon yang disusun oleh partai politik, yang memprioritaskan calon nomor urut kecil untuk ditetapkan menjadi calon terpilih.
Jadi, kalau pemilih memilih partai, sementara calon ditetapkan berdasarkan suara terbanyak, maka pemilih yang memilih partai, dirugikan (kalau tidak boleh disebut ditipu). Sebab calon-calon yang tidak mereka pilih ternyata ada yang terpilih. Lebih aneh lagi, jika pun perolehan suara partai lebih banyak dibandingkan dengan perolehan masing-masing
calon, tetap saja calon terbanyak yang terpilih.
Inilah pengacauan sistem pemilu yang dilakukan oleh MK, yang memutus perkara hanya berdasarkan pertimbangan sepotong-sepotong, tanpa memikirkan bekerjanya sistem pemilu secara keseluruhan.
Sekali lagi, sistem pemilu ditentukan oleh variabel-varabel teknis pemilu, yaitu daerah pemilihan, pencalonan, pemberian suara dan formula perolehan kursi serta penetapan calon terpilih. Keempatnya saling mengkait dalam membangun sistem pemilu. Kalau satu variabel diubah, maka akan berdampak pada variabel lain.
Pada titik inilah, MK tidak memahaminya. Cilakanya, putusannya tidak bisa diutak-atik lagi. Hakim-hakimnya pun merasa putusannya sudah 100 atau bahkan 1.000 persen benar.
*) Didik Supriyanto adalah Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar